Breaking News

Hukum, Politik dan Kekuasaan

Penulis merupakan Pemerhati Hukum dan Keadilan

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Oktober 23 dalam sidang nya , telah memberikan beberapa keputusan dari uji materiil tentang Undang Undang yang berhubungan dengan pelaksanaan pemilu tahun.

Secara praktek kenegaraan suatu keputusan lembaga yudikatif adalah norma yang sudah tetap dan berlaku.

Namun dalam kesempatan ini ada dua hal yang menarik dari pertimbangan hakim mahkamah konstitusi tersebut untuk dicermati secara teoritis, yaitu tentang persyaratan untuk menjadi capres dan cawapres.

Pada putusan yang dibacakan lebih dahulu atas permohonan batas usia minimal capres cawapres yang diajukan oleh salah satu partai politik yang mengusulkan bahwa batas minimal usia seseorang boleh mencalonkan diri minimal 35 tahun:

yang mana pada pemilu tahun 2019 adalah minimal usia 40. Menurut pemohon itu bertentangan dengan konstitusi.

Akhir dari putusan majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa yang berwenang merubah ketentuan di atas adalah lembaga pembuat undang-undang yaitu DPR dan Presiden.

Sehingga permohonan tersebut ditolak (dengan suara tidak bulat).

Sehingga secara yuridis normatif batas minimal usia capres dan cawapres adalah 40 tahun.

Namun pada pengujian permohonan dari seseorang mahasiswa (putusan 90 tahun 23) , menambah klausul bahwa usia minimal capres cawapres adalah 40 tahun,

kecuali pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Menurut salah satu hakim konstitusi yang menarik dan dipertanyakan, pemohon dalam permohonan uji materiil nya memberikan contoh dari seorang kepala daerah dari suatu wilayah di Jawa Tengah (tentu ini timbul pertanyaan logika yang sehat;

apa hubungan keduanya atau contoh tersebut, apakah tidak ada yang lebih berprestasi?.)

Tentu secara teoritis akan mengaitkan persoalan tersebut dengan situasi dan kondisi masyarakat dan politik saat ini yang sedang memegang karena disaat akan dibukakan pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden.

Pertanyaan apakah ini ada hubungan dengan variabel politik dan kekuasaan.

Tentu ini kita akan kaji menurut beberapa ahli hukum yaitu sejauh mana keterkaitan keduanya ( politik dan kekuasaan/ hukum).

Soekanto dalam Umar Sholehudin dalam bukunya Hukum dan Keadilan Masyarakat hal. 36 mengatakan bahwa Hukum merupakan suatu sarana elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, atau untuk menambah serta mengembangkannya.(Soekanto, 2005:15).

Hal yang sama sebagaimana dikutip oleh Irianto, 2006) dalam buku yang sama halaman 37 mengutip pendapat Star dan Collier (1985:3),

dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan " sesuatu" yang diciptakan oleh suatu bidang hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang lain.

Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain.

Wallace dan Wolf (1980: 99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan subtansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa (idem, hal. 37)

Kesimpulan:

Bahwa dengan mengutip dua putusan hakim majelis Mahkamah Konstitusi, (diputuskan tidak dengan suara bulat), dan mendengar kalimat salah satu hakimnya mengatakan bahwa telah terjadi lonjakan perubahan yang begitu cepat,

sebagai pengalamannya menjabat hakim MK, dari dua putusan yang bersamaan serta menyangkut hal yang sama, dengan menambah kan suatu klausul arti telah merubah norma awal yang seharusnya adalah kewenangan lembaga pembuat undang-undang.

Inilah salah satu pertanyaan masyarakat umumnya khususnya bagi penulis.***

*) Penulis adalah Pemerhati Hukum dan Keadilan