Breaking News

Status Pidana Adat: Dari Hukum Tidak Tertulis Menjadi Hukum Positif Tertulis


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Lembaga Adat Melayu Peduli Marga Batang Hari Sembilan)

Jendelakita.My.Id – Hukum adat, khususnya hukum yang membahas tentang “delik adat” (istilah Prof. Dr. R. Soepomo, S.H.), merupakan hukum positif tidak tertulis di samping hukum positif tertulis. Hukum adat (hukum tidak tertulis) bersama-sama dengan hukum tertulis merupakan “hukum dasar” (istilah dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 asli). Prof. Dr. R. Soepomo, S.H. dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat menggunakan istilah delik adat karena dalam sistem hukum adat tidak dikenal pemisahan antara hukum publik dan hukum privat sebagaimana dalam sistem hukum Romawi yang dianut Indonesia saat ini sebagai dampak asas konkordansi, unifikasi, dan modifikasi.

Pandangan tersebut sejalan dengan Prof. Iman Sudiyat, S.H., Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Gadjah Mada (pembimbing tesis penulis), yang juga menggunakan istilah delik adat dalam hal terjadinya pelanggaran adat. Namun demikian, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. (mantan Ketua Mahkamah Agung) dan Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Lampung, menggunakan istilah “pidana adat”. Penulis menggunakan istilah “pidana adat” karena istilah tersebut telah secara resmi digunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional).

KUHP Nasional akan diberlakukan mulai tanggal 2 Januari 2026 (Pasal 624 KUHP Nasional), yaitu tiga tahun sejak disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada 2 Januari 2023, sehingga sering disebut sebagai KUHP 2023. Namun, secara resmi tetap digunakan istilah KUHP (Pasal 623). Istilah yang digunakan dalam KUHP sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal demi pasal, yaitu Pasal 2 ayat (1), adalah Tindak Pidana Adat. Tindak pidana adat secara global dirumuskan dalam Pasal 597 yang menggunakan istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat” memiliki makna yang sama dengan “nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat” sebagaimana terdapat dalam Pasal 23 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Secara teoretis, perumusan hukum adat merujuk pada Simposium Nasional yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1975, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Tambun Anyang, S.H., yang menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum asli Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia dan di sana-sini mengandung unsur agama.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuannya, Peraturan Daerah mengatur mengenai tindak pidana adat tersebut. Ayat (2) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “berlaku dalam tempat hukum itu hidup” adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut, sekaligus menjadi pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh undang-undang. Ayat (3) menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah menjadi pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam Peraturan Daerah.

Dengan mencermati ketentuan pasal-pasal beserta penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal yang berkaitan dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat”, dapat dipahami bahwa hukum tersebut adalah hukum adat, sedangkan pelanggarannya disebut tindak pidana adat. Suatu tindak pidana adat yang merupakan perbuatan menyimpang dari hukum adat baru diakui sebagai bentuk hukum pidana tambahan setelah dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan melalui Peraturan Daerah kabupaten atau kota yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara keberlakuan Pasal 597 KUHP Nasional dan peran pemerintah daerah dalam membentuk Perda sebagai instrumen hukum.

Perumusan Perda tersebut memerlukan kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan akademisi serta tokoh atau ketua lembaga adat di wilayah tempat hukum tersebut hidup, agar norma adat dapat dirumuskan secara tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Setelah Peraturan Daerah disahkan, hukum pidana adat yang semula termasuk “hukum dasar tidak tertulis” akan terangkat menjadi “hukum dasar tertulis”, karena tidak lagi sekadar hukum yang hidup dalam masyarakat, melainkan telah menjadi hukum positif tertulis yang mengikat.

Proses perumusan Perda harus diawali dengan penelitian mendalam mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Kerja ini menuntut kolaborasi serius antara akademisi dan tokoh adat atau lembaga adat yang kompeten dan profesional sebelum ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota bersama pemerintah daerah. Sebagai contoh di Sumatera Selatan terdapat Kompilasi Simbur Cahaya dan Kompilasi Adat Istiadat Kabupaten dan Kota yang disusun oleh Dewan Penasihat dan Pembinaan Adat Istiadat Sumatera Selatan tahun 2001, yang dapat dijadikan rujukan sebagai bahan hukum primer dan sekunder, di samping artikel serta hasil penelitian.

Khusus di Sumatera Selatan, terdapat bahan hukum sekunder berupa Kompilasi Simbur Cahaya (istilah Prof. Dr. H.M. Koesno, S.H.) serta hasil penelitian kerja sama Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berjudul Kedudukan Lembaga Adat Marga Setelah Berlakunya UU No. 5 Tahun 1979. Rujukan tersebut digunakan oleh Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan dalam menyusun Kompilasi Adat Istiadat Kabupaten dan Kota di Sumatera Selatan yang diketuai oleh H. Ali Amin, S.H., dengan anggota Prof. Drs. A.W. Widjaja, H. Hambali Hasan, S.H., M.H., H. Moch. Murid, S.H., serta H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.

Catatan: semua dokumen tersebut masih utuh dan terdokumentasi.