Dinamika Politik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XX/2024
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)
Jendelakita.My.Id – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XX/2024 tentang pemisahan Pemilihan Umum Nasional dan Pemilihan Umum Lokal, yang memunculkan dinamika baru dalam kehidupan politik nasional.
Menyikapi hal tersebut, KAHMI Sumatera Selatan pada Jumat, 12 Desember 2025, menggelar diskusi publik di Ballroom Hotel Swarna Dwipa Palembang dengan menghadirkan pegiat pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Ketua KAHMI Sumsel sekaligus Bupati Empat Lawang Dr. Joncik Muhammad, serta akademisi Laurel Haeidir, S.H., M.A.
Dalam diskusi bertajuk Arah dan Tantangan Kehidupan Berpolitik di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XX/2024, Titi Anggraini mengungkapkan bahwa masyarakat sipil dari 12 organisasi, termasuk Perludem, ICW, Migrant Care, dan Pusat Studi Universitas Indonesia, telah menyusun naskah akademik dan draf RUU Pemilu, namun terdapat kekhawatiran pembahasan baru akan dilakukan pada pertengahan 2026.
Kondisi tersebut dinilai berpotensi menimbulkan kebuntuan legislasi sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2021, ketika partai-partai politik di DPR RI gagal mencapai kesepakatan terkait ambang batas parlemen dan sejumlah isu strategis lainnya.
Titi Anggraini juga mengingatkan bahwa banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang wajib diakomodasi dalam revisi UU Pemilu, mulai dari penghapusan presidential threshold, penataan ulang alokasi kursi, hingga pengaturan masa jabatan penyelenggara pemilu, serta menegaskan bahwa sikap diam Pemerintah dan DPR RI dapat dianggap sebagai tindakan inkonstitusional karena mengabaikan putusan MK.
Kekhawatiran serupa disampaikan Ketua KAHMI Sumsel Dr. Joncik Muhammad yang menilai adanya indikasi penundaan pembahasan UU Pemilu oleh DPR dan Pemerintah, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 135 berpotensi tidak terlaksana, terlebih jika pembahasan dilakukan terlalu dekat dengan tahapan Pemilu 2027, yang membuka kemungkinan tetap digunakannya undang-undang lama.
Ia bahkan menyebut kondisi tersebut sebagai "pembangkangan hukum terhadap putusan MK, bila pemerintah tidak tegas memerintahkan implementasinya."

