Breaking News

Pro Kontra Putusan MK No. 114/PUU- XXIII/2025

 


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)  

Jendelakita.my.id. - Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Kamis, 13 November 2025, telah memutuskan perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang larangan bagi anggota kepolisian yang masih aktif untuk merangkap jabatan publik di lembaga pemerintahan lainnya. Menurut data terakhir, terdapat 4.351 anggota kepolisian yang masih aktif tetapi menduduki rangkap jabatan. Setelah keluarnya putusan MK tersebut, secara hukum konstitusi, mereka yang bersangkutan harus melepaskan jabatan rangkap tersebut.

Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang juga saat ini diangkat menjadi anggota Komisi Reformasi Kepolisian, mengatakan bahwa setelah adanya putusan MK Nomor 114 Tahun 2025, ketentuan tersebut otomatis berlaku sehingga “mereka-mereka tersebut harus ditarik kembali ke markas semula sebagai anggota kepolisian.” Menurut Mahfud MD, dalam sistem demokrasi konstitusional, putusan MK bersifat final dan mengikat serta memiliki kekuatan hukum tetap. Pernyataan tersebut ia sampaikan pada acara perkuliahan di Universitas Airlangga Surabaya pada 14 November 2025.

Namun, pendapat Mahfud MD berseberangan dengan pendapat Cak Anam dari Kompolnas yang menyatakan bahwa anggota kepolisian yang masih aktif diperbolehkan merangkap jabatan di lembaga pemerintahan lainnya, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, dengan alasan kebutuhan dan keahlian tertentu yang memang memerlukan kompetensi kepolisian, seperti di BNN, BNPT, dan sebagainya. Cak Anam berpendapat bahwa hal tersebut “sesuai dengan Undang-Undang ASN.” Pendapat tersebut ia sampaikan pada Sabtu, 15 November 2025.

Menurut pengamatan penulis, kedua pendapat tadi—baik yang pro maupun kontra—berpotensi menimbulkan polemik berkepanjangan apabila tidak segera diselesaikan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Secara teoritis, putusan MK merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat, dan hal ini berlaku secara umum. Namun, secara khusus diperlukan pembatasan yang jelas agar tidak menimbulkan persoalan hukum baru.

Selama ini diketahui bahwa mereka yang merangkap jabatan publik secara otomatis menerima pembayaran berupa gaji ganda, yang tentu menimbulkan ketidakadilan. Di sisi lain, kondisi tersebut juga menutup peluang jenjang karier ASN yang telah bertahun-tahun menunggu kesempatan naik jabatan. Padahal, konstitusi mengatur adanya hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana tercantum dalam Bab Hak Asasi Manusia (Pasal 28) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.