Breaking News

Pelajaran Dari Sidang Komisi Informasi Publik


 Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat hukum dan sosial)  

Jendelakita.my.id. - Sidang Komisi Informasi Publik Republik Indonesia membuka informasi baru yang menarik perhatian publik. Baru-baru ini beredar sebuah video dari sidang Komisi Informasi Publik (KIP) yang menjadi viral di media sosial. Sidang tersebut dihadiri oleh para kuasa hukum, yaitu perwakilan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Surakarta. 

Dalam persidangan itu, muncul beberapa hal yang dinilai tidak masuk akal sehat dan patut diduga sebagai peristiwa yang mengarah pada pelanggaran hukum. Ketika hakim menanyakan bukti hukum yang disampaikan oleh pihak UGM mengenai keaslian surat yang diajukan, mereka menjawab, “resmi, Bu Hakim.” Hakim kemudian mempertanyakan kembali alasan surat tersebut tidak memenuhi standar keotentikan, yakni tidak menggunakan kop UGM, tidak ditandatangani oleh pejabat berwenang, serta tidak dibubuhi stempel resmi UGM.

Yang lebih mengherankan, saat hakim menanyakan keberadaan dokumen milik Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surakarta, pihak KPUD Surakarta menjawab secara spontan bahwa berkas atau dokumen tersebut telah dimusnahkan oleh KPUD. 

Pernyataan ini memicu pertanyaan lanjutan dari hakim, mengapa dokumen tersebut dimusnahkan padahal baru berusia satu tahun. Menurut undang-undang kearsipan, dokumen arsip baru dapat dimusnahkan setelah minimal lima tahun. Penulis sebagai pengamat hukum dan mantan advokat pada era tahun 1980-an melihat bahwa jalannya persidangan menunjukkan adanya hal-hal yang, dari sudut pandang ilmu hukum, patut diduga menyembunyikan sesuatu. Hal ini bisa terjadi karena kesengajaan maupun kealpaan.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah wajar sebuah lembaga sekelas universitas ternama seperti UGM mengeluarkan surat keterangan yang tidak semestinya, yakni tanpa kop, tanpa tanda tangan, dan tanpa stempel resmi. Dalam kasus pemusnahan dokumen pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Surakarta, tindakan tersebut jelas melanggar hukum kearsipan dan bahkan dapat mengarah pada pelanggaran hukum pidana karena termasuk kategori “menghilangkan bukti.” 

Padahal aturan hukum menetapkan bahwa pemusnahan dokumen baru dapat dilakukan setelah lima tahun dan harus disertai dengan berita acara. Situasi ini patut diduga melibatkan kerja sama dalam melakukan suatu tindak pidana, baik pelanggaran hukum maupun kejahatan yang dilakukan bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Mudah-mudahan informasi baru yang terungkap dalam persidangan Komisi Informasi Publik ini dapat membuka pintu penyelesaian terkait masalah ijazah Jokowi yang selama ini menyita waktu dan perhatian bangsa Indonesia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum?