Napak Tilas I-Tsing dari Sriwijaya ke Melayu Kuno Jambi
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)
Jendelakita.my.id. - Dari semua kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang paling termasyhur dan terbesar. Meskipun pusat pemerintahannya berada di Sumatera Selatan, kerajaan ini berhasil memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa, termasuk Kerajaan Sunda. Sriwijaya dikenal sebagai kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di Pulau Sumatera dan banyak memberikan pengaruh besar di Nusantara. Daerah kekuasaannya membentang luas mulai dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, hingga pesisir Kalimantan.
Tidak mengherankan bila Kerajaan Sriwijaya mampu mencapai prestasi yang gemilang dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Nama Sriwijaya sendiri berarti kemenangan yang gilang-gemilang. Secara etimologis, kata Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Sri yang berarti “bercahaya” atau “gemilang” dan Wijaya yang berarti “kemenangan” atau “kejayaan”. Dengan demikian, kejayaan Kerajaan Sriwijaya merupakan manifestasi dari makna yang terkandung dalam namanya.
Bukti awal keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7. Seorang pendeta Tiongkok bernama I-Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan tinggal selama enam bulan. Kerajaan ini tidak hanya dikenal di wilayah Indonesia, tetapi juga di mancanegara karena posisinya yang sangat strategis, yakni di sekitar Selat Malaka. Dari Sumatera Selatan (Palembang), pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas mencakup Selat Malaka, pesisir Sunda, bagian selatan Pulau Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, JAMBI HULU (huruf kapital oleh penulis), mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya, hingga Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasai menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terbesar pada masanya.
Meskipun pernah mencapai kejayaan yang gemilang, Kerajaan Sriwijaya, seperti kerajaan-kerajaan lainnya, akhirnya mengalami keruntuhan. Hal ini merupakan siklus kehidupan: kejayaan diikuti kemunduran. Pada abad ke-13, Sriwijaya mengalami masa kemerosotan, dan pada tahun 1377 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit. Sejak saat itu, Kerajaan Sriwijaya seakan-akan tenggelam dan terlupakan. Eksistensinya baru diketahui kembali setelah adanya publikasi pada tahun 1918 oleh sejarawan Prancis, George Coedès dari École Française d’Extrême-Orient.
Kembali pada topik Palembang–Jambi, pembahasan ini terinspirasi dari hasil seminar yang diadakan oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi baru-baru ini. Dikutip dari Jambi Link tanggal 9 November 2025, dengan judul LAM Jambi Desak Pemerintah Pusat Akui Bukti Sriwijaya di Jambi, seminar tersebut menindaklanjuti makalah Prof. Dr. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, yang meyakini bahwa Sriwijaya berpusat di Jambi, bukan di Palembang (huruf kapital oleh penulis).
Mengutip bagian kecil dari buku Dr. A. Erwan Suryanegara berjudul Membaca Sriwijaya (2018), disebutkan bahwa ketika I-Tsing pulang ke Kanton, ia berangkat dengan menumpang kapal yang sedang berlabuh di sungai yang terdapat di Kerajaan Sriwijaya (Sungai Musi). Nia Kurnia Sholihat Irfan mengatakan, di sebelah timur Palembang terdapat Jambi karena di sana juga terdapat sungai.
Catatan I-Tsing menyebutkan bahwa “orang yang berdiri pada tengah hari di Sriwijaya tidak mempunyai bayang-bayang.” Menurut Nia, hal ini tidak berarti bahwa lokasi Sriwijaya harus tepat berada di garis khatulistiwa (lintang nol derajat), melainkan dapat diartikan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang memenuhi syarat tersebut karena berada di posisi tiga derajat lintang selatan, yang berarti masih dekat dengan garis khatulistiwa. Perlu diingat, I-Tsing berasal dari Tiongkok, tempat di mana bayang-bayang pada tengah hari cukup panjang. Oleh karena itu, dapat dipahami jika I-Tsing menulis bahwa di Sriwijaya (maksudnya Palembang) tidak ada bayang-bayang pada tengah hari.
Ditinjau dari data arkeologis, pendapat bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berada di Palembang memperoleh bukti yang cukup kuat. Sebagian besar prasasti ditemukan di Palembang, seperti Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, Boom Baru, serta beberapa fragmen batu prasasti lain yang menceritakan tentang Siddhayatra (perjalanan suci). Selain itu, banyak pula ditemukan arca Buddha yang kini tersimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa Provinsi Sumatera Selatan maupun di Museum Nasional Jakarta.
Kesimpulannya, Jambi sebagai kerajaan Melayu tua memang pernah berada di bawah kekuasaan Sriwijaya dan meninggalkan jejak sejarah yang masih dapat ditemukan hingga kini. Namun, hal tersebut tidak serta-merta menjadi bukti bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Jambi.
