Fatwa MUI Yang Berpihak Pada Warga Negara
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Lembaga Adat Peduli Marga Batang Hari Sembilan)
Jendelakita.my.id. - Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melaksanakan Musyawarah Nasional pada 20–23 November 2025. Salah satu pokok bahasan dalam musyawarah tersebut adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang setiap tahun dikenakan kepada warga negara Indonesia. Setiap tahun jumlah PBB yang harus dibayar umumnya meningkat karena standar perhitungan didasarkan pada harga objek yang terus naik dari waktu ke waktu. Melalui Ketua Bidang Fatwa MUI, Prof. Asruron Naim Shaleh, musyawarah tersebut memfatwakan bahwa PBB merupakan jenis pajak yang diharamkan, karena dipungut setiap tahun padahal mestinya cukup satu kali saja dikenakan pajak, serta objek PBB bukanlah objek produktif yang menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya.
Pertimbangan lain yang diangkat adalah bahwa tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan. Dengan demikian, PBB termasuk dalam kategori perpajakan yang dinilai tidak berkeadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan regulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem perpajakan Indonesia, khususnya terkait PBB. Sebagaimana dilansir oleh Liputan Enam, berdasarkan keterangan tertulis dari Ketua Komisi Bidang Fatwa pada Minggu, 23 November 2025, fatwa ini diharapkan menjadi dasar bagi instansi pemerintah terkait untuk meninjau ulang regulasi perpajakan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selama ini terhimpit situasi ekonomi yang kurang berpihak kepada masyarakat.
Selama ini pemerintah cenderung mengandalkan sektor perpajakan sebagai sumber utama pendapatan negara maupun daerah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, hanya saja sistem pengelolaannya dinilai belum optimal dalam melaksanakan amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, yang pada intinya menyatakan bahwa "bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat Indonesia." Dalam konteks politik ekonomi, pemikiran tersebut sejalan dengan istilah Demokrasi Ekonomi Pancasila yang pernah disampaikan oleh tokoh perekonomian Indonesia, Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta).
Harapan besar disampaikan kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bapak Purbaya agar dapat menjadikan fatwa MUI tersebut sebagai pedoman demi menjaga agar negara tidak “termakan uang/pajak yang haram.” Selama ini persoalan PBB telah menjadi keluhan umum masyarakat, terutama karena masa penagihannya setiap tahun berakhir pada 30 September, dan apabila terlambat, masyarakat dikenakan denda. Dalam kenyataannya, tidak semua pemilik bumi dan bangunan adalah masyarakat berpenghasilan tinggi, dan justru sebagian besar di antaranya termasuk kelompok yang memerlukan perhatian negara. Dalam anekdot di media sosial disebutkan bahwa “rakyat membayar pajak, pejabat menikmati pajaknya.” Fenomena ini sering diperkuat oleh pemberitaan media bahwa rakyat patuh membayar pajak, sementara sebagian pejabat justru sebaliknya karena memiliki kekuatan ekonomi, bisnis, serta pengaruh politik.

