Breaking News

Surat Perjanjian SPPG MBG Menuai Protes


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Pengamat hukum dan sosial)

Jendelakita.my.id. - Seperti dilansir CNN Indonesia.com, sebagaimana pernyataan Kepala Sekolah Dasar Negeri Nomor 006 Seri Komala Libani, Bintan, Kepulauan Riau, Husmam Mukti, bahwa pada tanggal 19 Agustus 2025, oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), mereka disuruh membuat pernyataan bagi sekolah penerima manfaat yang mewajibkan sekolah menjaga kerahasiaan bila terjadi musibah keracunan ataupun masalah distribusi. Humam Mukti menyatakan TERPAKSA, karena bila menolak dianggap menolak program.

Dalam praktiknya, sekolah menghadapi banyak keluhan dari orang tua, mulai dari anak sakit perut dan muntah, penyaluran yang terhambat, hingga kewajiban mengganti alat makan senilai Rp80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah) bila rusak atau hilang. Hal yang sama juga muncul di Sleman, Yogyakarta. Terlepas dari semua isu tersebut, jika hal itu memang terjadi, muncul pertanyaan mendasar dari konstruksi hukumnya: apakah pernyataan atau perjanjian sepihak tersebut SAH dan dapat dijadikan dasar hukum?

Minimal terdapat dua persoalan hukum, yaitu persoalan hukum privat dan persoalan hukum publik. Persoalan hukum privatnya adalah adanya pelanggaran unsur “subjektif” dari pihak sekolah (dalam hal ini kepala sekolah), sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata (eks BW), yaitu unsur KESEPAKATAN, bukan KETERPAKSAAN. Dalam teori ilmu hukum, acara perjanjian atau pernyataan seperti ini dapat dibatalkan melalui pengadilan, karena surat SPPG MBG ditandatangani oleh kepala sekolah dalam kondisi “terpaksa”, sebab bila tidak, akan dianggap menolak program MBG.

Masalah hukum publik yang timbul tampaknya adalah adanya perbuatan yang seharusnya diketahui publik, namun justru dirahasiakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan tersebut melanggar undang-undang tentang keterbukaan informasi publik. Dalam ilmu hukum murni, hal demikian dapat dikategorikan sebagai penggelapan informasi yang seharusnya diketahui publik karena menyangkut kepentingan umum. Dalam hukum acara pidana, informasi dan petunjuk merupakan alat bukti yang sah. Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat dipersalahkan dan dianggap melakukan tindak pidana. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaannya adalah: siapa yang akan bertanggung jawab?


Dari sisi hukum privat, jelas bahwa perjanjian tersebut sudah tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian karena adanya unsur keterpaksaan. Sedangkan dari sisi hukum publik, terdapat indikasi penutupan atau penyembunyian informasi yang sebenarnya harus diketahui oleh masyarakat luas, termasuk penegak hukum. Dari sisi bisnis, apabila alat makan rusak atau hilang, sekolah yang harus menggantinya. Maka muncul pertanyaan, dari mana sumber anggarannya? Apakah akan ditanggung oleh guru honorer yang khusus ditugaskan oleh sekolah dan mendapat insentif Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari yang dibayarkan oleh SPPG MBG setiap sepuluh hari?

Kembali pada ketentuan perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, selain persyaratan subjektif (kesepakatan), juga terdapat persyaratan objektif. Menurut R. Subekti, kedua syarat ini tidak boleh dilanggar, baik syarat subjektif maupun objektif, terutama yang berkaitan dengan sebab yang halal (tidak bertentangan dengan undang-undang). Dalam kasus penandatanganan program MBG di atas, sebagaimana dilansir CNN Indonesia.com, kepala sekolah diwajibkan merahasiakan segala hal yang terjadi di sekolah bila terdapat peristiwa seperti keracunan.

Tindakan merahasiakan sesuatu yang seharusnya diketahui publik merupakan pelanggaran hukum, yaitu undang-undang tentang keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, perjanjian tersebut batal demi hukum. Kesimpulannya, dari sisi hukum privat, karena adanya unsur keterpaksaan, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Sedangkan dari sisi persyaratan objektif, karena melanggar hukum formal, maka akibatnya adalah batal demi hukum (batal dengan sendirinya).