Breaking News

Mengangkat Hutan Marga di Sumatera Selatan

 

H. Albar Sentosa Subari (tiga dari kiri)

Jendelakita.my.id. - Hutan Marga disebut juga dengan Hutan Adat. Prof. Dr. R. Soepomo menyebutnya dengan istilah Hak Pertuanan (asal kata dari “tuan,” maksudnya masyarakat hukum adat adalah sebagai tuan atas wilayah yang mereka diami). Prof. M. M. Djojodigoeno, S.H., guru besar ilmu hukum adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tidak kalah memaknainya dengan istilah Hak Purba. Artinya, masyarakat hukum adat adalah sebagai raja (purba) terhadap lingkungan wilayah tempat mereka hidup.

Wajar apabila Prof. Dr. H. M. Koesnoe, S.H., dalam salah satu makalahnya yang juga dihadiri penulis saat beliau menjadi narasumber Simposium Hak Ulayat di Universitas Islam Riau, mengatakan bahwa, “Tidak akan suatu komunitas masyarakat hukum adat hidup tanpa menguasai atau tanpa mengelola tanah adat (ulayat/tanah marga). Karena di situlah mereka beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan di sanalah pula mereka berkubur.”

Di sinilah persoalannya secara teoritis, namun apakah secara faktual mereka dapat menikmatinya? Pertanyaan tersebut berawal dari kebijakan-kebijakan politik di masa lalu yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Salah satu faktornya saat itu adalah dihapuskannya sistem pemerintahan terendah yang dikenal di setiap masyarakat hukum adat Nusantara. Dengan sistem sentralistik, digunakan pola pemerintahan pedesaan di Jawa yang kemudian diterapkan di luar Jawa. Hal ini terlihat dari penghapusan sistem pemerintahan marga yang diganti menjadi sistem pemerintahan desa.

Setelah amandemen UUD 1945, secara konstitusional hak masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Khusus di Sumatera Selatan, keberadaan hak masyarakat hukum adat (marga asli) diakui oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2023 tentang Provinsi Sumatera Selatan, Pasal 5 Ayat (3). Hal ini bermakna bahwa di dalam Provinsi Sumatera Selatan terdapat aneka budaya adat istiadat yang hidup dalam masyarakat asli yang disebut dengan marga.

Jika dikaitkan dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tentang Penghapusan Sistem Pemerintahan Marga, pada butir ketiga disebutkan bahwa masyarakat hukum adat tetap diakui melalui Lembaga Adat. Selain itu, keberadaan tanah adat juga diperkuat dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan tanah adat dari subsistem tanah negara, setelah adanya uji materiil dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sejak itu, tanah di Indonesia dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tanah negara, tanah adat, dan tanah perseorangan. Negara sebagai subjek hukum publik hanya bersifat menguasai (bukan memiliki) untuk mengatur peruntukannya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah secara normatif (berdasarkan data sekunder dalam penelitian hukum) masih ada tanah adat, tanah marga, atau tanah ulayat dalam kehidupan masyarakat hukum adat, khususnya di Sumatera Selatan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Balai Perhutanan Sosial Palembang bersama Perkumpulan Peduli Marga Batang Hari Sembilan akan melakukan identifikasi di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tepatnya di eks-Marga (istilah Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim era Bupati H. Kalamuddin, S.H.) di Desa Panang Enim Selawi. Insyaallah kegiatan ini akan dilaksanakan pada pertengahan September 2025. Kemarin telah dilakukan dialog langsung dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muara Enim, Bapak Afrizal, S.H., M.H., bertempat di ruang rapat bersama tim dari Balai Perhutanan Sosial Palembang, yaitu Bapak Ir. Denny Martin, M.Sc., Ibu Anita T. L. Silalahi, S.P., M.Si., serta Saudara Muhammad Yunus.

Hadir dari Perkumpulan Peduli Marga Batang Hari Sembilan adalah Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan, Albar Sentosa Subari, S.H., S.U., yang juga merupakan pakar di Sekretariat Bersama Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Nusantara yang berkedudukan di Pekanbaru, Riau.