Breaking News

LARM se-Sumatera Sepakati Pertemuan 2026 di Bangka Belitung, Fokus Perjuangkan RUU Masyarakat Hukum Adat

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan) 

Jendelakita.my.id. -  Dari Pekanbaru, Riau, ke Bangka Belitung — begitulah salah satu isi rekomendasi hasil kesepakatan Musyawarah Kelima Lembaga Adat Rumpun Melayu di Kota Pekanbaru, Riau, yang dilaksanakan pada 8–10 Agustus 2025 bertempat di Ruang Tenas Effendy, Balai Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Jalan Diponegoro. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga telah ditentukan bahwa pertemuan silaturahmi anggota Lembaga Adat Rumpun Melayu dilaksanakan sekali dalam setahun, sesuai hasil kesepakatan bersama. Adapun Musyawarah Kerja, yang sebelumnya dilaksanakan tiga tahun sekali, pada musyawarah kelima ini diubah menjadi lima tahun sekali seiring dengan pergantian Ketua LARM se-Sumatera. Untuk tahun 2026, disepakati pertemuan akan dilaksanakan di Kepulauan Bangka Belitung sebagai bagian dari rangkaian evaluasi program-program yang telah disetujui pada musyawarah sebelumnya.

Sebagai informasi, kelembagaan adat yang tergabung dalam LARM se-Sumatera berasal dari sepuluh provinsi, yakni Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Lampung. Salah satu kegiatan utama lembaga-lembaga adat tersebut adalah melestarikan dan mengembangkan adat, budaya, serta hukum adat di masing-masing provinsi yang umumnya bernuansa Melayu. Saat ini, fokus utama adalah memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat menjadi undang-undang, sebagaimana mandat konstitusi Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Jika dihitung sejak awal perencanaannya, upaya ini telah berlangsung sejak 2006, saat Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidatonya di Taman Mini Indonesia Indah pada peringatan Hari Masyarakat Hukum Adat Sedunia. Sebagaimana dikutip media massa tanggal 10 Agustus 2006, UU Masyarakat Hukum Adat diharapkan menjadi payung hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga masyarakat hukum adat dapat memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya, salah satunya mengenai tanah adat (hak ulayat, tanah marga) yang saat ini belum maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat.

Selain itu, kebijakan pemerintah melalui Kementerian Agraria terkait regulasi peraturan perundang-undangan juga menjadi perhatian. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemohon atau pemilik Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha yang telah bersertifikat, apabila tidak digarap selama dua tahun berturut-turut, akan disita oleh negara. Informasi ini menimbulkan berbagai tafsir di kalangan masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat hukum adat, bahkan menjadi bahan anekdot, mulai dari yang bersifat gurauan hingga menimbulkan kekhawatiran. Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk dapat menjadikan dirinya sebagai legal standing (memiliki kewenangan sebagai pihak yang dapat berdiri sendiri di muka hukum), suatu entitas harus memiliki dasar hukum, setidak-tidaknya peraturan daerah kabupaten atau kota. Karena undang-undang khusus belum ada, maka dapat menggunakan undang-undang parsial.

Belum lagi, hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, mengakomodasi berlakunya hukum adat dengan istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat” sepanjang telah menjadi hukum positif tertulis. Hal ini menjadi tugas mulia bagi Lembaga Adat Melayu pada umumnya dan LARM se-Sumatera pada khususnya agar seluruh cita-cita tersebut dapat terealisasikan.