Breaking News

Akhirnya Minta Maaf Setelah Viral Jadi Guyon Masyarakat

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan) 

Jendelakita.my.id. -  Mungkin kita masih ingat dengan pernyataan Menteri Agraria sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR), Nusron Wahid, tentang negara yang akan mencabut hak masyarakat atas tanah terlantar (lahan tidur) apabila tidak dikerjakan sesuai dengan peruntukan yang telah diberikan selama dua tahun berturut-turut. Menteri bahkan menyebutkan bahwa hak dalam sertifikat tanah dapat dicabut.

Pernyataan tersebut sempat membuat resah masyarakat, khususnya mereka yang tidak memahami sistem hukum yang berlaku. Banyak yang khawatir sertifikat hak atas tanah milik mereka akan diambil alih negara. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi, mulai dari marah, kecewa, hingga menjadikannya sebagai bahan guyonan yang beragam, bahkan ada yang menyangkutpautkan dengan persoalan lain yang tidak relevan.

Dalam salah satu pernyataannya, Menteri ATR menggunakan istilah yang dinilai tidak sesuai dengan terminologi hukum. Ia sempat menyebut bahwa “negara MEMILIKI TANAH,” padahal secara konstitusi negara tidak memiliki, melainkan “menguasai.” Hal ini dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Sebagai seseorang yang mempelajari sistem hukum di Indonesia, saya sempat mengomentari maksud dari pernyataan tersebut, walaupun saat itu Menteri ATR berulang kali menyampaikan statemen yang sama. Menurut saya, langkah tersebut bertentangan dengan hukum positif Indonesia. Awalnya saya menduga bahwa yang dimaksud objek kebijakan itu adalah tanah berstatus HGU atau HGB dengan skala jutaan hektare yang biasanya dikuasai oleh kelompok tertentu berdasarkan izin pemerintah, seperti pemanfaatan untuk perkebunan, pertanian, pembangunan perumahan, dan lain-lain. Ketentuan mengenai hal ini sebenarnya telah lama diatur, hanya saja pengawasannya kurang efektif.

Selain itu, lembaga yang berhak mencabut hak atas tanah adalah pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bukan lembaga eksekutif. Sebab, hak atas tanah, apalagi yang sudah bersertifikat, merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Kekeliruan Menteri ATR akhirnya dikoreksi. Pada 12 Agustus 2025, sebagaimana dikutip Kompas TV, diberitakan bahwa “Menteri ATR klarifikasi dan minta maaf atas pernyataan soal tanah terlantar akan diambil alih negara.” Menteri menegaskan bahwa yang bisa diambil alih negara hanyalah tanah berstatus HGU atau HGB dengan luas jutaan hektare, sesuai dengan dugaan saya sebelumnya.

Sebagai anggota masyarakat hukum adat, saya menghimbau kepada Menteri ATR untuk juga memperhatikan tanah ulayat yang hingga kini masih menjadi sumber konflik. Tanah ulayat seharusnya segera diidentifikasi dan diinventarisasi agar peraturan perundang-undangan dapat berjalan harmonis. Hal ini pernah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria era Hasan Basri Durin, tetapi implementasinya tidak berjalan optimal. Bahkan, pernah ada pula Peraturan Menteri Kehutanan untuk menata ulang tanah yang bersengketa.

Permasalahan tanah, baik hak milik individual maupun hak masyarakat hukum adat, merupakan isu sensitif karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanah bukan hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga menjadi tempat terakhir manusia ketika dimakamkan. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. H. M. Koesnoe, S.H., Guru Besar Ilmu Hukum Adat, yang menyatakan:

“Tidak mungkin ada manusia-masyarakat yang dapat hidup tanpa adanya tanah.”

Kata-kata bijak beliau dapat dimaknai sebagai sindiran terhadap kebijakan pemerintah. Pernyataan tersebut disampaikan dalam salah satu seminar nasional tentang tanah ulayat di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, yang saat itu saya hadiri sebagai anggota Dewan Pembina Adat Sumatera Selatan. Selain itu, pemikiran-pemikiran beliau yang tertuang dalam berbagai buku karyanya telah memperkaya inspirasi saya untuk menuangkan tulisan ini.