Breaking News

Mahkamah Konstitusi vs Dewan Perwakilan Rakyat

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Pengamat Hukum)

Jendelakita.my.id. -  Seperti kita ketahui bersama, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 135 Tahun 2025 memisahkan waktu minimal dua tahun antara pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, serta Dewan Perwakilan Daerah, dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota, yang berlaku mulai tahun Pemilu 2029. Pertimbangan hukumnya antara lain adalah bahwa pelaksanaan dua kegiatan pemilu secara serentak, seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya, akan menyulitkan partai politik dalam mendapatkan kader-kader yang berkualitas. Hal ini juga berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa praktik politik uang, yang pada akhirnya dapat membuka celah terjadinya tindak pidana turunan, seperti korupsi dan lain sebagainya.

Pro dan kontra tentu saja muncul di tengah masyarakat Indonesia, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Namun, yang menarik bagi penulis—sebagai pengamat hukum sekaligus kolumnis di Sumatera Selatan—adalah tanggapan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, khususnya melalui pernyataan Puan Maharani selaku Ketua DPR RI, yang mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 135/2025 “melanggar konstitusi” karena bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu yang menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Akibatnya, semua partai politik yang ada di lembaga legislatif disebut akan mengkajinya ulang.

Jika kita cermati alasan dari para legislator tersebut, tampaknya terdapat pemaknaan yang berbeda. Pertama, seolah-olah Putusan MK Nomor 135/2025 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Partai Politik, sehingga dinilai inkonstitusional. Kedua, para legislator seakan lupa bahwa satu-satunya pihak yang secara hukum positif tertulis berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah Mahkamah Konstitusi (secara normatif), bukan lembaga lain termasuk DPR RI. Ketiga, mereka tampak tidak memahami bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Keempat, mungkin patut diduga ada alasan-alasan khusus di balik sikap partai politik tersebut.