Breaking News

Demokrasi, Bukan Cara Pemilihannya


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan)  

Jendelakita.my.id. - Menteri Dalam Negeri, sebagaimana dilansir oleh I News dalam berita berjalan (run news) pada hari Rabu, 30 Juli 2025, menyatakan bahwa yang penting adalah sistem yang demokratis, bukan cara pemilihannya. Lebih lanjut, Mendagri menyampaikan bahwa kepala daerah sebaiknya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemikiran seperti ini sebenarnya telah muncul sejak era reformasi, dengan dasar bahwa pilkada langsung seringkali membawa dampak yang kurang memuaskan.

Salah satu dampak tersebut adalah dominannya faktor popularitas dan kekuasaan—baik politik maupun ekonomi—dalam pencalonan kepala daerah. Sementara itu, standar kualitas calon tidak menjadi prioritas utama. Dalam praktiknya, hal ini mengakibatkan banyak penyimpangan seperti politik uang, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta tingginya biaya politik untuk mendapatkan dukungan suara secara maksimal.

Jika kita kembali kepada Pancasila, sistem perwakilan sejatinya sejalan dengan sila keempat, yang menekankan musyawarah perwakilan. Salah satu dampak nyata yang terlihat adalah disharmonisasi antara gubernur dengan bupati/wali kota. Padahal, keduanya merupakan kepala daerah. Gubernur adalah kepala daerah tingkat provinsi, sementara bupati dan wali kota merupakan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Selama era reformasi, masing-masing memegang kekuasaan penuh dalam menjalankan otonomi daerah.

Karena sama-sama dipilih langsung sebagai kepala daerah, seringkali terjadi ketegangan atau perbedaan kebijakan yang signifikan. Contoh yang saat ini viral adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melarang kegiatan study tour bagi siswa di wilayah Jawa Barat karena dianggap memberatkan orang tua siswa dan tidak berkaitan dengan pendidikan karakter. Namun, kebijakan tersebut justru mendapat penolakan dari beberapa kepala daerah di provinsi yang sama, seperti Wali Kota Bandung, Wali Kota Bekasi, serta Bupati Bandung, dan beberapa kepala daerah lainnya.

Selain itu, dalam praktik koordinasi pemerintahan, seringkali undangan dari gubernur tidak dihadiri langsung oleh para bupati dan wali kota, melainkan hanya diwakilkan kepada bawahannya. Fenomena ini menunjukkan lemahnya sinergi antar pemimpin daerah, yang seharusnya saling mendukung dalam menjalankan roda pemerintahan.

Pemikiran Mendagri Tito Karnavian, sebagaimana diberitakan I News TV, sejalan dengan gagasan tim kolaborasi Purnawirawan TNI-Polri bersama 60 kampus se-Indonesia dalam Naskah Akademik Kaji Ulang UUD NRI 1945. Inti pemikirannya adalah bahwa gubernur sebaiknya diangkat oleh presiden sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Dalam konsep tersebut, DPRD tidak lagi diperlukan dalam memilih gubernur karena gubernur tidak lagi berstatus sebagai kepala daerah dan tidak memiliki hak otonomi daerah.

Dengan demikian, otonomi daerah yang seluas-luasnya berada di tangan bupati dan wali kota sebagai kepala daerah kabupaten dan kota. Dalam negara demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat—baik secara langsung maupun melalui sistem perwakilan. Artinya, metode pemilihan bisa beragam, yang terpenting adalah esensi kedaulatan itu sendiri, bukan mekanismenya.

Kedaulatan rakyat tidak boleh jatuh ke tangan satu kelompok atau partai politik tertentu karena hal tersebut akan menyebabkan kebijakan-kebijakan publik hanya menguntungkan golongan tertentu, bukan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu ada lembaga perwakilan rakyat yang benar-benar memiliki kewenangan menentukan arah pemerintahan. Lembaga tertinggi negara dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), yang berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara serta mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden apabila terjadi pelanggaran terhadap konstitusi.

Tanpa keberadaan lembaga tertinggi sebagai pemegang kedaulatan rakyat, proses pemerintahan menjadi berbelit-belit, sebagaimana yang kita rasakan saat ini. MPR RI seharusnya terdiri atas unsur partai politik (DPR), utusan daerah (kabupaten/kota), dan utusan golongan (tokoh agama, adat, dan masyarakat). Dengan struktur tersebut, MPR RI benar-benar menjadi cerminan dari kehendak rakyat secara menyeluruh.