Breaking News

Ada yang Menarik dari Kasus Pasar Cinde

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Pengamat Hukum)

Jendelakita.my.id. - Membaca portal Rakyat.co.id edisi 4 Juli 2025 yang mengutip pemberitaan dari Tribun Sumsel.com, terdapat hal menarik yang patut dicermati, terutama bagi seorang pengamat hukum. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus Pasar Cinde, menemukan adanya upaya “peran pengganti” dengan kompensasi sebesar Rp17 miliar.

Fakta ini terungkap dari bukti elektronik berupa percakapan melalui aplikasi pesan singkat (chatting handphone). Lebih lanjut, ditemukan pula adanya upaya untuk menghalangi proses penyelidikan, di mana terdapat pihak yang “memasang badan” sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab dengan imbalan kompensasi tersebut.

Terlepas dari kasus tersebut, penulis tidak akan membahas substansi perkara secara mendalam karena kasus ini sudah berada dalam ranah penegakan hukum oleh Kejaksaan Tinggi, sehingga secara etika tidak pantas untuk diintervensi.

Penulis hanya berupaya melihatnya dari sisi normatif dengan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), baik KUHP lama yang berlaku berdasarkan Memori Penjelasan Mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maupun KUHP baru, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1).

Pada Bab II KUHP baru, yang berjudul Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 12 sampai dengan Pasal 50), terdapat Paragraf 2 yang mengatur tentang permufakatan jahat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 13. Ketentuan ini secara substansial memiliki kesamaan dengan Pasal 55 KUHP lama, yang juga sering digunakan oleh penegak hukum untuk mengaitkan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana.

Menurut pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo dan Prof. Mr. Mulyatno, para guru besar hukum pidana dari Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, konsep “perbuatan pidana” mencakup pula bentuk partisipasi dalam tindak pidana. Hal ini tertuang dalam Bab V KUHP lama tentang Turut Serta Melakukan Perbuatan yang Dapat Dihukum.

Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana:

  1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau yang turut melakukan perbuatan pidana;

  2. Orang yang, dengan pemberian, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman, tipu daya, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan, secara sengaja membujuk orang lain untuk melakukan perbuatan pidana.

Ayat (2) menegaskan bahwa pertanggungjawaban hanya berlaku untuk perbuatan yang memang secara sengaja dibujuk dan menimbulkan akibat oleh pihak yang bersangkutan.

Kata kunci dari Pasal 55 KUHP adalah persamaan kedudukan hukum dan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku utama, pihak yang turut serta, dan pihak yang membantu melakukan tindak pidana. Istilah-istilah ini (pelaku, turut serta, dan membantu melakukan) merupakan kajian penting dalam dunia akademik, khususnya dalam ilmu hukum pidana.

Hal ini terbukti dengan dimasukkannya bahasan tersebut secara khusus dan berurutan dalam buku-buku literatur hukum pidana, seperti karya Prof. Satjipto, Prof. Mulyatno, dan Utrecht dalam Hukum Pidana I dan II.