Breaking News

Fenomena Kawin Kontrak di Puncak


Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat sosial budaya)

Jendelakita.my.id. -  Istilah kawin kontrak sering kali kita dengar melalui media massa dan media sosial. Pagi ini, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan liputan khusus dengan tajuk “Kawin Kontrak di Puncak”. Tradisi seperti ini sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat.

Tentu timbul pertanyaan: apakah praktik ini benar-benar terjadi dan sesuai dengan fakta di lapangan? Setelah menyimak tayangan televisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak semua informasi yang beredar benar-benar mencerminkan kenyataan. Berdasarkan keterangan dari salah seorang tokoh masyarakat adat, umumnya para perempuan yang terlibat dalam praktik kawin kontrak bukanlah warga asli setempat, melainkan pendatang dari luar daerah. Mereka menjadi sasaran para pengunjung, terutama wisatawan asing, yang memang berniat melakukan kawin kontrak.

Kawin kontrak merupakan bentuk pernikahan yang tidak diakui secara sah baik oleh hukum negara maupun ajaran Islam. Untuk mempermudah pelaksanaannya, pernikahan ini dilakukan secara nonformal dan tidak dicatat oleh negara. Akibatnya, tidak ada konsekuensi hukum maupun hak dan kewajiban yang mengikat, kecuali yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.



Jika dianalisis lebih lanjut, fenomena ini didorong oleh berbagai faktor. Dari sisi perempuan pelaku, dorongan utama adalah faktor ekonomi. Begitu pula dengan para perantara atau calo yang mendapat keuntungan dari mencari “pasangan” bagi pihak pria. Sedangkan dari sisi laki-laki—yang kebanyakan adalah warga negara asing—kawin kontrak menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan biologis tanpa harus mengeluarkan biaya besar seperti halnya membayar jasa pekerja seks komersial.

Untuk mengurangi dampak negatif dari fenomena ini, khususnya bagi masyarakat lokal di wilayah Puncak, maka perlu dilakukan penertiban secara serius. Penertiban ini penting jika dilihat dari sisi kesehatan masyarakat, sosial, maupun budaya. Tujuannya adalah untuk menghindari citra buruk terhadap warga lokal yang sebenarnya tidak terlibat dalam praktik tersebut.

Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan, Albar Sentosa Subari, menyatakan bahwa kemajuan teknologi informasi, terutama media sosial, sangat mempermudah dan memperlancar “bisnis seks” yang dibungkus dengan istilah kawin kontrak. Menurut beliau, maraknya kawin kontrak di Puncak tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi alam maupun sosial di daerah tersebut.

Wilayah Puncak dikenal sebagai destinasi wisata lokal dan internasional yang memiliki panorama alam yang indah serta berbagai fasilitas penginapan seperti hotel, vila, homestay, dan lainnya. Secara sosial, telah terjadi pergeseran nilai yang mengarah pada individualisme dan materialisme, di mana orientasi utama adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sementara kontrol sosial semakin melemah.

Sebagaimana pepatah adat mengatakan, kebiasaan yang dilakukan secara berulang akan menjadi kebiasaan yang dianggap benar dan pada akhirnya membentuk hukum sosial. Ketika hal ini terjadi, maka ketergantungan terhadap praktik tersebut pun akan semakin menguat.