Breaking News

80 Tahun KUHPidana Berlaku di Indonesia

Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.  (Pengamat Hukum)

Jendelakita.my.id. - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang lebih dikenal dengan singkatan KUHP) berasal dari hasil terjemahan pribadi seseorang atas Wetboek van Strafrecht voor Indonesië (Staatsblad 1915 Nomor 732) yang disingkat WvS.

Untuk memudahkan para praktisi hukum saat itu, beberapa tokoh yang memahami bahasa dan filosofi hukum Belanda mencoba menerjemahkan WvS ke dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut pendapat Prof. Dr. H. M. Koesnoe, S.H., hasil terjemahan tersebut bukanlah terjemahan resmi negara.

Beliau menjelaskan bahwa pemahaman terhadap bahasa dan filosofi hukum Belanda mengalami tiga fase perkembangan. Fase pertama adalah generasi yang benar-benar memahami bahasa dan filosofi Belanda, yakni mereka yang pernah menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Batavia, yang saat itu diajar oleh dosen-dosen Belanda seperti Prof. Bzn dan Ter Haar.

Fase kedua adalah generasi yang masih memahami bahasa Belanda, namun tidak lagi memahami secara mendalam filosofi hukumnya. Sementara itu, fase ketiga adalah generasi sarjana hukum yang tidak lagi menguasai bahasa maupun filosofi hukum Belanda.

Untuk membantu generasi ketiga ini, beberapa tokoh dari fase pertama dan kedua kemudian menerjemahkan buku-buku hukum Belanda, termasuk WvS. Di antaranya adalah Dati Mutiara dengan karyanya Tafsir KUHP (1962), dan R. Soesilo dengan bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1964).

Dalam praktik penulisan dan penyebutannya pun beragam, ada yang menulis KUHP, KUHP Terjemahan, atau menyebutnya sebagai Ex WvS.

Dasar hukum diberlakukannya WvS yang kemudian dimaknai sebagai KUHP Indonesia (hasil terjemahan dengan sejumlah perubahan pasal) ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Selama 80 (delapan puluh) tahun perjalanan WvS sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, banyak kritik muncul terkait ketidaksesuaian substansinya dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 2 Januari 2023, disahkanlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1).

KUHP yang baru ini akan mulai berlaku secara resmi pada tanggal 2 Januari 2026, yaitu tiga tahun setelah tanggal diundangkan. Pengundangan dilakukan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2023.

KUHP terbaru ini terdiri atas XXXVII Bab dan 624 Pasal. Salah satu hal yang menarik dan disyukuri oleh para pengamat serta praktisi hukum adat adalah pengakuan terhadap hukum adat dalam hukum positif nasional. Hukum adat dimasukkan dalam KUHP dengan istilah resmi "Hukum yang Hidup dalam Masyarakat", sebagaimana diatur dalam Pasal 597 KUHP, meskipun pelaksanaannya tetap memerlukan pengaturan lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan lainnya.

Selama 80 tahun, hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mendapat perhatian yang cukup karena terbentur oleh asas legalitas yang kaku, atau yang disebut oleh Prof. Muladi sebagai legalitas tertutup, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) WvS. Hal ini merupakan konsekuensi dari paham kodifikasi (codex) yang dianut di negeri asalnya, yakni Belanda, yang berpandangan "Tiada hukum tanpa undang-undang", sejalan dengan aliran legisme-positivisme.

Lantas, muncul pertanyaan: Apakah KUHP Tahun 2023 masih menganut asas legalitas yang sama? Prof. Muladi, sebagai salah satu konseptor bersama Prof. Barda Nawawi, menyebut bahwa KUHP ini menganut Asas Legalitas Terbuka.

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh para ahli hukum Belanda bahwa tidak mungkin lagi sepenuhnya menganut asas legalitas tertutup, mengingat perkembangan zaman dan teknologi. Hal ini selaras dengan pandangan Jonker dan Simon, sebagaimana dikutip dalam buku Utrecht berjudul Hukum Pidana I.