Tidak Mau Dibawa ke Jalur Hukum
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum dan Politik)
Jendelakita.my.id – Salah satu hal yang menarik dari persengketaan antara dua provinsi yang berdampingan, yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, adalah dampak dari dialihkannya status administrasi atas empat pulau—Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—dari wilayah administratif Provinsi Aceh kepada Provinsi Sumatera Utara. Hal ini merupakan imbas dari Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.3.2138 Tahun 2025 tertanggal 25 April 2025.
Alhamdulillah, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada tanggal 17 Juni 2025 telah memutuskan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Provinsi Aceh.
Namun, sebagai kolumnis sekaligus pengamat hukum, saya merasa masih ada satu pertanyaan yang mengganjal:
Mengapa Gubernur Aceh tidak menempuh jalur hukum (persidangan) di PTUN? Padahal, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menganjurkan agar persoalan ini diselesaikan melalui mekanisme hukum.
Namun, Gubernur Aceh memilih untuk tidak menyelesaikannya lewat jalur hukum, dan lebih memilih menggunakan jalur nonhukum.
Sebagai pengamat hukum, tentu pilihan ini menarik untuk dikaji secara teoritis. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut:
Pertama, keputusan menteri tersebut pada awalnya bukan didasari oleh sengketa yang objek hukumnya merupakan bentuk perselisihan antarwilayah. Menurut Gubernur Aceh, wilayah tersebut sudah sah dimiliki secara administratif, baik dari aspek yuridis, sosiologis, maupun historis.
Kedua, munculnya keraguan terhadap penegakan hukum yang, menurut dugaan, cenderung dijadikan alat politik dan kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan.
Selain itu, secara psikologis, masyarakat Aceh masih menyimpan trauma terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu yang belum sepenuhnya pulih dari ingatan kolektif mereka.
Dan yang paling urgen menurut analisis saya, sebagai mantan akademisi yang juga pernah menjadi praktisi (advokat), keputusan Gubernur Aceh untuk tidak menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum administratif merupakan langkah yang bijak. Pertimbangan tersebut antara lain karena proses hukum di PTUN bisa memakan waktu, biaya besar, dan bahkan bisa berlarut hingga ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Sementara di lapangan, situasi di masyarakat Aceh semakin memanas. Kondisi ini dikhawatirkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan di tengah konflik. Jika dibiarkan terlalu lama, bisa saja berdampak negatif terhadap stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama.
Oleh karena itu, keputusan untuk tidak membawa persoalan ini ke jalur hukum, dan penyelesaiannya yang berakhir dengan baik melalui kepiawaian Presiden Republik Indonesia, patut kita syukuri sebagai langkah damai yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.