Krisis Konstitusional: Kembali ke UUD 1945 (Kilas Balik Sejarah)
Sementara itu, pihak lain—yakni para nasionalis sekuler—juga menyetujui "kembali ke Undang-Undang Dasar 1945", namun tanpa catatan tambahan. Mereka merujuk pada Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara.
Sebagaimana kita ketahui, tidak satu pun dari kedua kelompok besar tersebut yang berhasil mewujudkan konsepnya, karena tidak ada yang mampu memenuhi syarat persetujuan dua pertiga suara dari anggota Majelis Konstituante yang hadir.
Majelis Konstituante menemui jalan buntu pada Juni 1959. Hal ini terjadi karena mayoritas anggotanya—khususnya dari fraksi-fraksi non-Islam—menolak hadir dalam sidang di Bandung (Yamin, Pembahasan, hlm. 133 dalam H. Endang Saifuddin Anshari, 1997).
Presiden Soekarno kemudian mengambil tindakan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden yang telah disetujui oleh Kabinet pada 3 Juli 1959 (ibid). Dekrit tersebut dirumuskan di Istana Bogor pada 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh Presiden pada hari Ahad, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB di hadapan Istana Merdeka, Jakarta (Yamin, ibid).
Menurut Muhammad Yamin, dasar pembenaran (justifikasi) dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah ketentuan-ketentuan yang bersumber dari hukum darurat kenegaraan, yang dikenal sebagai Das Notrecht des Staats atau Das Staatsnotrecht. Prinsip ini dikenal dan diakui dalam ilmu hukum nasional maupun internasional.
Pertanyaannya: apakah suasana darurat kenegaraan tersebut benar-benar ada dalam Republik Indonesia? Menurut Yamin, hal itu semata-mata merupakan hasil dari tinjauan politik pimpinan negara (Simorangkir).
Pada 13 Juli 1959, Presiden mengirimkan surat kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang berbunyi:
“Dengan ini saya memberitahukan bahwa, sebagai pelaksanaan Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959, saya mengharap agar Dewan Perwakilan Rakyat terus bekerja dalam kerangka Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku kembali sejak pengumuman Dekrit tersebut.” (Prawoto).
Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta—yang merupakan satu kesatuan dengan konstitusi tersebut—telah diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1955. Di dalamnya terdapat sekitar 44% anggota yang mewakili kekuatan nasionalis Islami, dan penerimaan itu terjadi pada 23 Juli 1959.
Dekrit tersebut, menurut Ketua Umum Partai Islam Masyumi, Prawoto, menjadi dasar bersama (common platform) bagi seluruh aliran dan golongan bangsa Indonesia. Dasar ini harus ditegakkan bersama, dengan tetap saling menghormati identitas masing-masing.
Tujuh tahun kemudian, Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tertanggal 9 Juni 1966 juga memberikan justifikasi terhadap Dekrit Presiden tersebut. Antara lain disebutkan:
“Meskipun Dekrit 5 Juli 1959 merupakan suatu tindakan darurat, kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan rakyat Indonesia, terbukti dari persetujuan DPR hasil Pemilu 1955 secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959.”
Memorandum DPR-GR tersebut juga menegaskan kedudukan Piagam Jakarta sebagaimana tercermin dalam Dekrit Presiden tersebut. Berdasarkan hal itu, Memorandum DPR-GR kemudian diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 5 Juli 1966 dan dituangkan dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966.
Dengan demikian, keputusan DPR yang dituangkan dalam memorandum tersebut ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS (A.H. Nasution, Ketetapan-Ketetapan MPRS: Tonggak Konstitusional Orde Baru, Jakarta: Pancuran Tujuh, 1966, hlm. 143–144).