Breaking News

Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah


Tulisan Oleh H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.

Jendelakita.my.id. - Hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah dirasakan masih belum harmonis. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, terutama yang berkaitan dengan belum optimal dan jelasnya pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

Berangkat dari permasalahan tersebut, diperlukan kajian khusus mengenai bentuk otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Penjelasan UUD 1945 (naskah asli) disebutkan bahwa dalam daerah otonom terdapat pembagian wilayah-wilayah. Ketentuan ini juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, lalu menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dan terakhir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2020.

Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menganut asas desentralisasi, yaitu memberikan hak, kesempatan, dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Pasca reformasi, pemerintah menetapkan enam bidang yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Selain keenam bidang tersebut, kewenangan lainnya didesentralisasikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk otonomi yang diperluas.

Dengan demikian, bentuk negara kesatuan dilaksanakan melalui pembagian daerah menjadi wilayah besar dan kecil, yang kemudian dikenal sebagai provinsi, kabupaten, dan kota.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, provinsi didefinisikan sebagai wilayah administrasi sekaligus daerah otonom. Hal yang sama berlaku untuk kabupaten dan kota yang juga merupakan wilayah administrasi dan daerah otonom. Artinya, baik provinsi maupun kabupaten dan kota merupakan wilayah administrasi yang menjalankan kewenangan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah berubah beberapa kali, menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, lalu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dan terakhir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2020, prinsip dasar pemberian otonomi daerah tetap menekankan pada pemberian kewenangan kepada kepala daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Tujuannya adalah untuk memberdayakan masyarakat, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah, serta mendukung stabilitas politik dan kesatuan bangsa.

Sebagaimana telah dijelaskan, provinsi, kabupaten, dan kota adalah wilayah administrasi dan sekaligus daerah otonom.

Namun, dalam konteks administrasi, terdapat perbedaan mendasar antara posisi gubernur dengan bupati/wali kota.
Gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah, sedangkan bupati dan wali kota bukan merupakan wakil Pemerintah Pusat.

Jika kedua tingkatan tersebut merupakan daerah otonom, maka pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah ada bentuk otonomi tertentu yang diberikan oleh provinsi kepada kabupaten/kota?

Pertanyaan inilah yang sejak awal pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan hubungan antara gubernur dan bupati/wali kota menjadi kurang harmonis.

Oleh karena itu, pembagian wilayah otonom perlu dikonstruksi ulang.

Otonomi Daerah Provinsi diberikan dalam bentuk "Otonomi Terbatas", yaitu hanya mengatur dan mengurus bidang-bidang yang terkait dengan manajemen kewilayahan.
Sementara itu, "Otonomi yang Luas dan Utuh" diletakkan di daerah kabupaten dan kota.

Dengan demikian, gubernur tidak lagi disebut sebagai Gubernur Kepala Daerah, melainkan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Konsekuensinya, provinsi tidak perlu lagi memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dengan pola pembagian seperti ini, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat lebih mudah dicapai. Friksi antara gubernur dan bupati/wali kota yang kerap terjadi di era otonomi daerah pun dapat dihilangkan.

Dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, dan evaluasi pembangunan nasional maupun daerah juga akan lebih mudah dilakukan.

Salah satu contoh kendala yang sering saya alami adalah dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Sebagai Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan pada masanya dan Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan periode 2024–2029, saya kerap menyampaikan gagasan kepada lembaga pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif, agar menyusun Perda Kabupaten/Kota mengenai Eksistensi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Namun, alasan yang sering dikemukakan oleh pihak legislatif maupun eksekutif adalah “menunggu” terbitnya Perda serupa di tingkat provinsi.

Padahal, sejatinya kabupaten dan kota dapat membuat perda sendiri tanpa harus menunggu perda dari provinsi.

Sebagai penutup, tulisan ini juga berkaitan dengan kearifan lokal. Saya mengusulkan agar persyaratan yang tercantum dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 tentang pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ditinjau kembali.

Adapun syarat pengakuan terhadap masyarakat hukum adat saat ini meliputi:

  1. Sepanjang masih hidup;

  2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat;

  3. Menjunjung prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

  4. Diatur dalam undang-undang.

Namun, pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat merupakan kewajiban negara, bukan masyarakat adat yang memohon untuk diakui. Ini selaras dengan pandangan historis yang pernah disampaikan oleh Prof. Mr. Moh. Yamin, S.H., dan Prof. Dr. R. Soepomo, S.H., sebagai konseptor penyusunan UUD 1945.

Maka, saya mengajukan rumusan sebagai berikut:

"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya."

Palembang, Juni 2025
Hormat saya,
Penulis.