Breaking News

Psikologi Uang dalam Pemilu Serentak 2024

 



Tulisan Oleh     : Pasiska, M.A. 

                            Penulis Adalah Pengiat Pemilu dan Merupakan Dosen di STAI Bumi Silampari     


Jendelakita.my.id. - Pemilu Serentak 2024 telah selesai digelar, namun jejak-jejak uang dalam politik masih menyisakan tanda tanya besar bagi demokrasi Indonesia. Fenomena politik uang atau _money politic_ bukan hanya soal transaksi ekonomi, melainkan cerminan dari persoalan psikologis yang lebih dalam dalam kehidupan sosial-politik masyarakat. Di sinilah letak pentingnya memahami “psikologi uang” dalam konteks pemilu.

Uang dalam pemilu bukan sekadar alat tukar, tetapi telah berubah menjadi alat persuasi, bahkan manipulasi. Banyak pemilih yang menerima uang bukan karena mereka tidak tahu bahwa hal itu salah, tetapi karena faktor tekanan ekonomi, ketergantungan sosial, dan persepsi bahwa "semua calon juga melakukan hal yang sama". Psikologi uang bekerja dengan cara menormalkan perilaku transaksional dalam demokrasi, mereduksi nilai suara menjadi sekadar komoditas.

Dari sisi calon legislatif atau kepala daerah, distribusi uang sering dianggap sebagai “investasi politik”. Mereka merasa perlu mengeluarkan uang untuk membeli loyalitas, membentuk citra, dan meredam pesaing. Secara psikologis, hal ini memperlihatkan betapa rendahnya tingkat kepercayaan pada mekanisme demokrasi yang bersih dan adil. Alih-alih menawarkan gagasan, para calon cenderung menjual janji dan hadiah instan.

Fenomena ini juga menunjukkan adanya ketimpangan pendidikan politik. Sebagian besar masyarakat belum dibekali dengan pemahaman bahwa suara mereka bukan untuk dijual, melainkan bentuk tanggung jawab dan hak konstitusional. Ketika kebutuhan ekonomi bertemu dengan lemahnya literasi politik, maka psikologi uang bekerja efektif menggantikan rasionalitas dengan kebutuhan sesaat.

Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini tidak cukup hanya dengan penindakan hukum. Kita membutuhkan pendekatan psikologis dan edukatif yang lebih mendalam. Pendidikan politik harus menyentuh ranah emosional dan perilaku sosial, bukan hanya aspek informatif. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil harus bersinergi untuk membentuk generasi pemilih yang kritis, rasional, dan tahan terhadap godaan uang.

Pemilu 2024 seharusnya menjadi momentum introspeksi: Apakah kita memilih berdasarkan nurani dan visi, atau sekadar demi amplop dan serangan fajar? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas demokrasi kita di masa depan.