Breaking News

Keengganan Menggunakan Istilah Hukum Adat


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Terasa bahwa dari sementara kalangan memang ada keengganan mempergunakan istilah HUKUM ADAT.

Di dalam tahun 1951, Soepomo mengakui hal tersebut dan berusaha menjelaskan latar belakang keengganan itu 

Dikemukakan bahwa: Hukum Adat seringkali menimbulkan salah faham, seolah olah hukum itu bersifat zaman dahulu dan bersifat hukum yang bukan Islam.

Olehnya disarankan agar bagi sebutan hukum adat dipergunakan istilah " Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutary law) yang meliputi;

1, Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan badan negara (parlemen, dewan Propinsi dan sebagainya).

2, hukum yang timbul karena putusan putusan hakim (judge Made law)

3, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota kota maupun di desa desa (customary law).

Saran tersebut dipengaruhi oleh ketentuan yang terdapat di dalam pasal 32 UUD Sementara, di mana dipakai istilah HUKUM TIDAK TERTULIS.

Sekalipun pendirian Soepomo, tentang Hukum Adat sebagai hukum non statutair di dalam tahun 1952 tetap digunakan, namun terlihat dalam tahun itu adanya langkah kembali kepada pandangan tahun 1941.

Di dalam tahun 1952 tersebut dikemukakan bahwa hukum adat, sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecilnya hukum Islam.

Hukum adat itupun meliput hukum yang berdasarkan keputusan keputusan hakim yang berisi asas asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum nyata dari rakyat (lihat aliran historis: von Savigny)

Bilamana diperhatikan pikiran yang dikemukakan di sini, memang akan banyak dijumpai pengaruh pengaruh pandangan masa silam, pengaruh dari undang-undang dasar sementara dan juga yang sesuai dengan apa yang mulai hidup waktu itu yaitu kembalinya Soepomo pada pandangan sewaktu diucapkan pidato inaugurasi nya tahun 1941, adalah suatu pemikiran yang menghubungkan hukum adat dengan kepribadian bangsa kita.

Pada tahun 1958 Prof. M.M. Djojodiguno SH guru besar hukum adat di universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengeluarkan suatu pikiran yang mendefinisikan secara lebih mantap apa yang dilukiskan dalam ciri ciri pada tahun tahun terdahulu. Setelah dibedakan terlebih dahulu antara definisi formil dan materil, kemudian dikemukakan masing masing bagaimana bunyinya. Pada kesempatan kali ini kita hanya kemukakan yang bersifat materiil yaitu yang mengatakan bahwa hukum adat ialah kaidah kaidah yang dapat disimpulkan dari sumber tertentu dan timbul langsung sebagai pernyataan dari rasa keadilan orang Indonesia dalam hubungan pamrih. (Lihat buku nya Asas asas Hukum Adat).

Hubungan pamrih adalah sifat interaksi anggota komunitas dari suatu masyarakat yang di sebut sebagai masyarakat hukum adat, di mana di dalam hubungan tersebut tidak di dasar kan pada perhitungan untung rugi. Tapi berdasarkan jiwa kebersamaan alias istilah nya adalah "Gotong Royong".

Istilah Gotong Royong merupakan istilah yang sangat populer di ucapkan oleh bung Karno di saat perumusan dasar dasar negara di muka BPUPK tanggal 1 Juni 1945. Maupun di saat beliau pidato di muka senat terbuka Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa di tahun 1951.

Dan diulang kembali makna tersebut di dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar hukum adat dan Pancasila Prof. Dr. Soeripto SH pada Universitas Negeri Djember Malang tahun 1969.

Yang mengatakan bahwa hukum adat sebagai sumber kelahiran welbron dan Pancasila sebagai sumber pengenal kenbron.

Jadi artinya kedua pemaknaan oleh Bung Karno dan Soeripto tersebut, bahwa hukum adat itu menjiwai jalan nya roda pemerintahan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Undang Undang Dasar 45, Bhinneka Tunggal Ika serta Negara Kesatuan Republik Indonesia.***

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan