Reformasi Mengubah Bentuk Negara Proklamasi
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial. Menurut Imawan (Yogyakarta, UGM, 2004) tujuan gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi adalah politik yaitu mengadakan amendemen terhadap UUD 45 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.
Sebetulnya gerakan reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 45 guna menciptakan sistem pemerintahan negara yang dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis, tatapi tetap berpegang teguh kepada landasan filosofis pembentukan negara serta cara pengelolaan nya sebagaimana yang diamanatkan para pendiri negara. Sayang nya, peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amendemen UUD 45 telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem residensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negara kekeluargaan yang merupakan salah satu Staats fundamental Norm sistem pemerintahan Indonesia.
Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 45 hasil amendemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Misalnya, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan populer yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai partai mayoritas di DPR, " Political gridllocks, semacam itu sesungguhnya telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 45, enam dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka.
Setelah MPR RI mengesahkan amendemen ketiga dan keempat UUD 45, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. MPR RI tidak lagi merupakan perwujudan lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal ini menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan Staats fundamental Norm yang tercantum dalam pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan UUD 45.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi hukum. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) dalam tiga cabang (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang secara idealnya diformulasikan sebagai Trias Politica oleh Montesquie.
Sistem pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 45 mengandung beberapa ciri presidensial dan sistem parlementer (SISTEM SENDIRI - bukan model Amerika Serikat ataupun Inggris).
Yang mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan. Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang lagi. Para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.
Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR RI sebagai perwujudan semua rakyat.
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif. Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan presiden. Bersama sama presiden dan DPR menyusun undang-undang.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan