Paham Konstitusionalisme Dilatarbelakangi Suasana Kebatinan
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan)
Jendelakita.my.id – Konstitusi merupakan hukum dasar yang menjadi pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berbentuk hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula berbentuk tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menempati kedudukan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan negara.
Dalam konteks institusi negara, konstitusi bermakna sebagai permakluman tertinggi yang mengatur berbagai aspek, antara lain pemegang kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta berbagai lembaga negara dan hak-hak rakyat.
Sejarah perkembangan konstitusi menunjukkan bahwa konstitusi membawa pengakuan terhadap eksistensi pemerintahan rakyat. Konstitusi adalah naskah legitimasi dari paham kedaulatan rakyat. Naskah ini berfungsi sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh warga negara dalam membangun sistem pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan rakyat.
Dalam proses penyusunan Undang-Undang Dasar, nilai-nilai dan norma-norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktik penyelenggaraan negara ikut memengaruhi perumusan naskah tersebut. Oleh karena itu, suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, historis, dan yuridis turut membentuk ketentuan dalam Undang-Undang Dasar. Pemahaman terhadap setiap ketentuan dalam Undang-Undang Dasar perlu dilakukan secara saksama agar makna pasal-pasalnya dapat dimengerti dengan tepat.
Dilihat dari sejarah keberlakuannya, konstitusi di Indonesia telah mengalami lima periode, yaitu:
-
Periode UUD 1945 (18 Agustus 1945–27 Desember 1949);
-
Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949–17 Agustus 1950);
-
Periode UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950–5 Juli 1959);
-
Periode UUD 1945 (5 Juli 1959–1999);
-
Periode UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil perubahan) (1999–sekarang).
(Lihat: Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, 2017)
Periode kelima merupakan hasil dari gelombang reformasi tahun 1998, yang salah satu buahnya adalah perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945, atau yang dikenal juga sebagai amandemen UUD NRI 1945. Perubahan ini terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999 hingga 2002.
Namun, dalam implementasinya, UUD NRI 1945 hasil perubahan terakhir (2002) masih dirasakan belum sepenuhnya menjawab harapan masyarakat Indonesia, terutama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, serta makmur dalam keadilan. Hal ini terlihat, salah satunya, dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah (Perubahan Kedua) yang memuat Pasal 18, 18A, dan 18B.
Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, salah satu aspek yang penting adalah terciptanya keadilan dalam pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting: Perlukah dilakukan kaji ulang terhadap UUD NRI 1945?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya bekerja sama dengan purnawirawan TNI/Polri dan akademisi dari 60 kampus se-Indonesia, akan menyelenggarakan Seminar Otonomi Daerah dengan tema:
"Hubungan Pusat dan Daerah dalam Konteks Kaji Ulang UUD NRI 1945"
📅 Hari/tanggal: Rabu, 25 Juni 2025
🕘 Pukul: 09.00–12.00 WIB
📍 Tempat: Gedung Djuani Mukti, Bukit Besar, Palembang
Keynote Speaker:
-
Letjen TNI (Purn.) Bambang Darmono
Pembicara:
-
Dr. Ardiyan Saptiawan, M.A. (Unsri)
-
Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Unsri)
-
Dr. Diana Fawziah, M.A. (Unas)
Moderator:
-
Dr. Zulfikri Suleman, M.A. (Unsri)
-
Dr. Reni Suwarso, Ph.D. (UI)
Seminar ini diharapkan dapat memberikan masukan dari para peserta, guna mendukung kajian ulang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.