Masyarakat Hukum Adat: Keberuntungan Sekaligus Tantangan dalam Pembangunan
![]() |
Foto: Koleksi Penulis |
Jendelakita.my.id – Terciptanya era pasar bebas, di mana Indonesia turut menjadi bagian di dalamnya, ternyata membawa tantangan baru bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Tantangan tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari kerusakan lingkungan hidup hingga melemahnya moralitas bangsa akibat berkembangnya sikap individualisme dan materialisme.
Di tengah dinamika tersebut, Indonesia masih beruntung memiliki masyarakat hukum adat yang keberadaannya tetap diakui. Namun, dalam praktiknya, keberadaan masyarakat adat sering kali justru dianggap sebagai penghambat proses pembangunan. Padahal, jika diberdayakan secara tepat, masyarakat adat memiliki potensi besar sebagai subjek pembangunan.
Dalam kondisi ekologi dan sosiologi yang semakin terkikis, pemerintah sepatutnya memberikan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat hukum adat dengan pertimbangan sebagai berikut:
-
Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal yang tinggi dalam menjaga lingkungan hidup;
-
Mereka menguasai tanah ulayat yang memiliki potensi ekonomi besar;
-
Mereka memiliki jejaring sosial yang kuat, baik di tingkat nasional maupun internasional;
-
Mereka memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk mendukung pembangunan.
Agar masyarakat hukum adat dapat berperan maksimal secara bottom-up dalam pembangunan, pemerintah pusat dan daerah perlu menyusun kebijakan strategis yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat adat. Hal ini penting untuk mengantisipasi semakin meluasnya konflik yang terjadi di berbagai wilayah serta mengubah potensi konflik menjadi kekuatan pembangunan.
Langkah penguatan lembaga adat pernah ditegaskan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, melalui pembentukan Sekretariat Nasional Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat yang dilakukan pada 9 Agustus 2006 di Sasana Langen Budaya, Taman Mini Indonesia Indah. Kegiatan tersebut turut disaksikan oleh para tetua adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Penulis sendiri hadir langsung dalam peristiwa tersebut sebagai tokoh masyarakat hukum adat Sumatera Selatan dan anggota Lembaga Adat Sumatera Selatan.
Kemudian, berdasarkan akta notaris di Pekanbaru, Riau, berdirilah Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, di mana penulis turut dipercaya sebagai anggota Dewan Pakar.
Secara global, konvensi-konvensi dunia juga menegaskan pentingnya pemberdayaan masyarakat adat. Salah satunya adalah Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan (ILO) Tahun 1989, khususnya Pasal 6 dan Pasal 7 sampai Pasal 12 yang mengatur hubungan antara sistem hukum adat dengan sistem hukum nasional. Sementara Pasal 13 sampai Pasal 19 mengatur hak-hak masyarakat hukum adat, sebagaimana tertuang dalam dokumen PBB No. E/CN.4/Sub.2/1993/29.
Saat ini, terdapat tiga fenomena keterkikisan yang dihadapi masyarakat hukum adat:
-
Keterkikisan ekologi, berupa kerusakan lingkungan hidup akibat praktik illegal logging, ketandusan lahan, dan penurunan kualitas sumber daya alam;
-
Keterkikisan sosiologis, yakni melemahnya hubungan kekerabatan antara masyarakat perantauan dengan kerabat dan marga di daerah asal;
-
Keterkikisan ekonomi, ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi di banyak daerah dalam konteks otonomi daerah.
Dalam kerangka otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota sesungguhnya memiliki kewenangan strategis untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang melindungi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Perda ini penting sebagai dasar hukum agar masyarakat adat dapat menjadi subjek hukum dengan legal standing yang sah dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum di pengadilan.
Namun, hingga kini, upaya tersebut belum sepenuhnya terwujud. Salah satu hambatannya adalah masih adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah, yang menimbulkan multitafsir. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, saat mencoba menyampaikan gagasan tentang perlindungan masyarakat adat kepada legislator di kabupaten/kota, mereka justru diliputi keraguan karena menunggu instruksi dari tingkat provinsi. Padahal, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan langsung karena wilayah masyarakat adat berada dalam yurisdiksi mereka.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah perampingan birokrasi serta harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan agar masyarakat hukum adat dapat diberdayakan secara optimal.