Breaking News

Cerpen: Waktuku

Gambar oleh Pete Linforth dari Pixabay

Oleh Putri Utami Irawan

  Samar-samar seberkas sinar menyembul dari kejauhan dan menembus jendela dapur. Di depanku terdapat meja makan kecil bulat yang cukup untuk satu orang.perhatianku tertuju pada sendok dan piring plastik yang kuambil dari ibu rumahku. Segera aku menyantap makanan lezat buatanku: tempe kering yang goreng hingga berwarna kemerahan, telur mata sapi setengah matang, dan sop bening. Disepetak ruangan kecil yang jauh dari keramaian inilah aku berteduh untuk sementra waktu demi cita-cita ku.

  Aku sadar, tidak mudah untukku melakukan perubahan.aku hanya berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. tetapi tentu saja, tidak semua orang mau menerima kebaikan orang lain, untuk itu aku harus tebal mata ,tebal telinga, dan tetap teguh pada pendirian. Saat aku tertawa hanya aku yang tahu persis apakah tawaku itu berada dalam kebahagian atau berada dalam kesedihan. Mereka hanya melihat wajah. Tapi apakah mereka tahu rasanya menangis dalam diam, tertawa dalam kesedian dan tersenyum dalam beban.

  Aku mulai menghitung butiran air yang jatuh ujung pipi, dan menghimpunnya dalam genggaman. Seorang wanita mudah berkulit coklat turun dari motornya dan segera menuju pintu rumahku. Aku beranjak dari meja makan untuk membukakan pintu. Nita datang untuk menjemput ku. Hari ini kami harus ke sekolah dan menandatangani pengambilan Ijazah. Aku melihat senyum yang keruh diwajah Nita. Tak pernah aku melihatnya seperti ini dan hal itu membuatku khawatir. Nita yang kukenal adalah sosok yang ceria dan bawel serta kekanak-kanakan. Aku menyambutnya yang menjahtukan pelukannya padaku. Aku mengajaknya masuk, menyiapkan segelas teh manis dan ia pun bercerita.

  “Putri, aku sungguh iri dengan keluarga-keluarga lain, tiap malam meraka bisa makan bersama keluarganya, dengan orangtuanya, tertawa bersama, berkumpul dan saling berbagi cerita. Tapi itu semua tidak aku rasakan, Putri di Luar sana, orang lain mungkin melihatku sebagai gadis berkecukupan. Aku diberi semua yng aku inginkan, tapi bukan itu yang aku butuhkan. Yang aku butuhkan adalah Ayah dan Bunda. Aku butuh perhatian mereka, Putri” ungkap Nita dengan ekspresi wajah sedih dan murung.

  Aku menyimak ceritanya dengan perhatian penuh. Sesekali ia mengusap wajahnya yang sembab.

  “Kami memang bertemu setiap malam dirumah, tapi tidak pernah saling menyapa. Mereka terlalu capek sepulang dari kantornya masing-masing. Itu alasan yang sulit aku terima, Put.” Ungkap Nita dengan  ekspresi wajah sedih dan murung.

  “Kamu salah, Nita,” jawabku pelan, “kamu lihat pengemis diluar sana. Kamu tidak pernah tahu apakah mereka masih punya keluarga atau tidak. Sebenarnya kamu patut bersyukur, setiap hari masih bisa bertemu dengan ayah-bundamu, tiap malam masih bisa saling menyapa,kamu juga mesti bersyukur, walaupun dalam sehari kamu hanya bisa bertemu sebentar dengan orangtuamu, tapi masih diberikan kesehatan dan kecukupan materi. Intinya, tidak ada kelurga yang sempurna, pasti ada titik kekurangan masing-masing.” 

          Air mata Nita jatuh menetesi kemejanya. Nita, sahabatku, kamu jauh lebih beruntung dari yang lain, kamu masih mempunyai kedua orangtua yang mampu mendoakanmu.

          Malam itu aku merasakan kerinduan yang sangat pada orang tuaku. Hidup itu keras, sekeras hati ayah. Pernahkah kalian lihat meneteskan air mata karna ia tidak sanggup memberikan apa yang kalian minta? Dan ibu, betapa letihnya ia mengurusmu, namun tak sedikit pun mengeluh didepanmu. Hatiku gerimis menatap kosong dimata ibu ketika ia mengelus kepalaku. Jiwaku pecah ketika ibu mendoakanku dengan air mata yang berjatuhan diatas sajadah. Dan betapa remuknya aku, 

          Ponselku tiba-tiba berdering, ada telepon masuk. “Putri, ini Bang Eldo, Abang mohon tolong selamatkan Nita, Put, Nita sedang di RS. BUNDA, sekarang-kritis. Dia kecelakan sore tadi dan sekarang sedang sangat membutukan donor darah. Nita pernah cerita kalau golongan darah kalian sama. Abang tidak tahu lagi harus meminta bantuan kemana.” Ungkap Bang Eldo dengan wajah cemas dan sedih.

Aku hampir saja menjatuhkan ponselku karena terkejut sekaligus cemas dengan kondisi Nita. Denyut nadiku seakan berhenti. Aku panik.

“A-apa, Bang? Putri segera kesana, Bang.” Ungkap saya dengan ekspresi  wajah cemas dan panik.

Tranfusi darah selesai dilakukan. Aku merasa tubuhku menjadi lemah sekali. Ini efek samping sementara saja, hanya untuk beberapa jam, ujar dokter. Sebenarnya aku tak cukup peduli dengan keadaanku, yang terpenting saat ini adalah keselamatan Nita.

“Maaf, Bang. Putri harus pulang sekarang. Ada yang harus Putri kerjakan segera. Putri akan kesini lagi jika sudah menyelesaikannya.” Ungkap saya dengan terburu-buru

“Abang yang seharusnya meminta maaf, Put. Selama ini Abang telah salah paham denganmu, Abang sempat berpikir kalau kamu hanya ingin memanfaatkan Nita dan Abang selalu melarang Nita berteman denganmu. Maafkan Abang, Put,” ucap Bang han sambil menyalamiku. Pandangannya terasa penuh dengan penyesalan.

“Abang tidak salah. Putri merasa beruntung bisa mengenal Abang dan Nita. rasanya seperti keluarga sendiri. Oiya, Putri harus pulang sekarang, Bang.” Ungkap saya dengan ekspresi senyum.

“Biar Abang yang antar, Put.” 

“Tidak usah, Bang. Abang harus menjaga dan mendoakan Nita disini.” Memasang raut senyum.

Aku pun meninggalkan ruangan itu dengan ragu-ragu. Sejujurnya aku ingin sekali berada disamping Nita, namun apa daya, aku merasa tubuhku sangat tidak enak dan aku tidak mau menyusahkan Bang Eldo.

Malam kian larut dan aku belum juga bisa tidur. Rasa sakit dikepalaku kian memuncak, seperti ada serombongan rayap menggerogoti kepalaku setelah melakukan Transfusi darah sore tadi. Tapi aku tidak merasa menyesal sedikitpun karena sudah mendonorkan darahku kepada Nita, karena aku sangat menyayangi sahabatku  Nita.

Setelah satu Minggu Nita dirawat di RS.BUNDA, akhirnya Nita pun sudah bisa pulang dan istirahat dirumah,karena kondisinya sudah sangat membaik.Aku langsung menjenguk Nita dirumahnya dan saat sampai dirumah Nita, ternyata Nita sudah menungguku untuk datang menjenguknya.Saat aku menghampiri Nita sahabatku,dia langsung memelukku erat tubuhku. “Putri sekarang aku sadar kalau apa yang pernah kamu bilang itu benar, dan aku harus bersyukur karena masih punya Orangtua,Abang dan kamu sahabatku yang sangat mneyayangiku, dan lagi pula Orangtua ku pergi ke luar Negri itu untuk pekerjaan dan untuk diriku juga. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu Put” ujar Nita sambil menghapus air matanya.***