Asal Usul Suku Kumoring
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Kumoring adalah nama salah satu suku yang mendiami daratan atau aliran sungai kumoring.
Suku ini adalah suku yang terbesar dan terluas jika dibandingkan dengan suku suku lainnya yang mendiami wilayah Sumatera Selatan.
Kata Kumoring : minimal kita kenal tiga istilah atau penulis serta sebutan nya yaitu : Kumoring, Komering, Komering, itu karena perbedaan antara penulis dan pengucapan dari masing masing dusun atau tiuh .
Menurut ilustrasi sebuah kamus bahasa Kumoring Inggris dan Indonesia minimal suku kumoring terdiri dari 56 suku atau etnis berbahasa kumoring.
Kesemuanya berdomisili aslinya di aliran sungai kumoring.
Kumoring menurut https://wikipedia.com); adalah satu klan dari suku Lampung yang berasal dari kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke daratan Sumatera Bagian Selatan sekitar abad ke 7. Dan telah menjadi beberapa kebuayan atau marga ( asli- genealogis- penulis).
Kumoring diambil dari nama Way atau Sungai .
Kehidupan masyarakat kumoring berpusat di sekitar Danau Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Daerah ini dikenal dengan nama Sekala Brak yang terletak di daratan tinggi kaki Gunung Pasagi dan Gunung Seminung tempat Danau Ranau berada.
Secara harfiah, kata Sekala Brak adalah Sagala berarti kumoring, sedang kata Berak / Brak berarti luas.(Kumoring yang luas).
Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut di masyarakat kumoring, bahwa suku kumoring dan suku Batak, Sumatera Utara, ada sebuah kisah yang belum teruji penelitian nya: diantara suku kumoring dan suku Batak dikisahkan masih bersaudara. Hal ini bisa dianalisis dari bahasa, sifat dan adat istiadat.
Contohnya saja dalam penyebutan angka dari satu sampai kesepuluh ada bahasa dan penyebutan nama yang sama: juga dalam cara menarik garis keturunan kedua suku ini menarik garis keturunan melalui garis keturunan laki laki (patrilineal istilah Van Dijk dalam bukunya Pengantar Hukum Adat- namun teori pengelompokan oleh Van Dijk , matrilineal, patrilineal dan bilateral disanggah oleh Prof. MM. Djojodiguno SH).
Terbukti menarik garis patrilineal bagi suku Batak tergambar pada marga dari seseorang yang mengambil marga orang tua laki laki. Suku kumoring menjadi dasar pemberian gelar saat pernikahan yang disebut adok, jajuluk, Golar. Itu melambangkan status sosial atau profesi orang tua atau Akas dari mempelai laki-laki.
Kalau kita mengutip tulisan yang pernah terbit di Media Indonesia, 23 Oktober 2007) ataupun di media lokal disekitar tahun 2000, memang ada penulis sejarah yang rajin menurunkan artikel tentang suku kumoring, seingat penulis adalah bapak H. Arlan Ismail SH, (penulis memanggil beliau dengan sebutan KIYAI, karena kami masih saudara sama sama dari tiuh Minanga Tongah.
Salah satu sisi peninggalan sejarah suku kumoring yang masih dapat disaksikan oleh generasi sekarang adalah Rumah tradisi kumoring.
Pada masyarakat kumoring, khususnya marga Semendawai, memiliki atau mengenai dya jenis rumah tempat tinggal yang bersifat tradisional, yakni rumah ulu dan rumah gudang.
Berdasarkan struktur bangunan, antara rumah ulu dan rumah gudang pada prinsipnya sama, rapi pembangunan rumah gudang sudah di modifikasi. Terutama untuk arah hadap seperti Utara (hulu), Selatan (liba), Barat (darak) dan Timur (Laok). Perbedaan lainnya, pada rumah gudang selalu dibuat ventilasi yang posisinya ada pada setiap pintu dan jendela, sedangkan pada rumah ulu tidak mengenal ventilasi udara.
Baik rumah gudang ataupun rumah ulu merupakan jenis rumah panggung atau rumah yang memiliki tiang penyangga. Bahan utama pembuatan adalah jenis kayu atau papan yang berkualitas sangat baik untuk jangka panjang misalnya kayu onglen, tembesu.
Berdasarkan struktur bangunannya, rumah ulu terbagi atas tiga bagian, yakni bagian depan (garang), bagian tengah atau utama (ambin, haluan dan kakudan), serta bagian belakang (Pawon).
Bagi masyarakat kumoring dan umumnya juga pada masyarakat hukum adat di Nusantara ini pembagian seperti itu sudah menjadi ciri khasnya.
Bagian tengah rumah itu bersifat privasi, . Ruang utama ruang tengah rumah dibagi menjadi tiga ruang, yaitu ambin atau kamar tidur, haluan dan kakudan. Berdasarkan struktur lantai, dapat diketahui setiap ruang memiliki hirarkis yang ditandai peninggian atau merendahkan lantai ruangannya. Ambin memiliki kedudukan yang tertinggi, selanjutnya haluan dan kakudan serta garang dan Pawon. Untuk haluan sama tinggi dengan lantai kakudan dan diantara keduanya tidak terdapat dinding.
Haluan berfungsi untuk perempuan dan kakudan untuk laki laki.
Jadi melihat struktur lantai rumah kumoring itu bukan tanda stratifikasi sosial, tapi hanya membedakan status dan fungsi orang orang penghuninya (sesepuh, orang dewasa dan Pemuda).
Sebagai catatan secara ilmiah bahwa Van Royen dalam bukunya de Palembang Sche Marga (1927). Menyebut suku kumoring dengan istilah JELMA DAYA.(Orang dalam)
Sedangkan nama sungai kumoring menurut salah satu literatur berasal dari nama seorang India saudagar buah pinang, yang bernama Komering Singh, konon kabarnya makamnya terdapat di sebelah hulu desa Muara dua, sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari pertemuan sungai Selabung dengan Wai Saka yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai kumoring,
Makanya tidak heran kita banyak suku kumoring yang berdomisili di wilayah ulu tepatnya di sekitar Plaju. Mungkin ini awal sejarah nya.
Menurut cerita di dalam bukunya H. Arlan Ismail SH berjudul Adat Perkawinan Kumoring Ulu Sumatera Selatan, sepertinya ada kaitannya tradisi orang India yang suka mengunyah " pinang" sebagai bagian unsur yang kita kenal dalam tradisi isi TEPAK, yaitu buah pinang yang sudah di buat kecil kecil untuk dikunyah bersama daun sirih, getah dalam bahasa kumoring disebut PANGASAN, Tempat peralatan untuk membuat ramuan yang disebut tadi (daun sirih, getah dan buah pinang serta tembakau) untuk nenek meramu nya (PANGASAN).
Sekarang dikenal istilah lain dengan TEPAK yang isinya sama dengan PANGASAN.
Cuma karena pemahaman generasi muda terjadi pergeseran di dalam mengambil isi TEPAK tersebut di saat disuguhkan oleh penari. Biasanya orang tamu kehormatan mengambil sobekan sedikit dari daun sirih padahal aslinya yang diambil adalah buah pinang.
Itupun juga tidak dapat disalahkan karena memang kadang kadang dan umumnya penari yang membawa tepak tersebut juga karena isinya tapaknya hanya daun sirih. Sedangkan buah pinang sukar di dapat dewasa' ini.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan