Breaking News

Piagam Jakarta Sebuah Konsensus Nasional


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Semua itu sudah menjadi sejarah. Hal itu tidak dapat dikembalikan, tetapi semangat nya hidup dan bersemayam di hati sanubari rakyat.

Piagam Jakarta - hasil karya panitia yang terdiri dari sembilan orang yang menandatangani pada tanggal 22 Juni 1945-- mula-mula adalah nama yang kita berikan kepada Preambul Undang Undang Dasar 1945, sebagaimana ia diterima bulat pada tanggal 11-16 Juli 1945 oleh Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan.

Waktu itu, Ir Soekarno, sebagai panitia sembilan, memberi keterangan dalam sidang pleno, dan sekaligus membela hasil karya panitia, bahwa Preambul itu telah dicapai dengan susah payah dan merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis dan golongan agama Islam. Memberi nama memang tidak pernah tepat mengenai apa yang ada yang ada dalam nama itu. Apa golongan Islam bukan golongan nasionalis? Tentu tidak. Mereka tidak kurang cinta tanah air dan bangsa.

Mereka juga tidak kurang kesediaannya untuk berkorban bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka sesudah Ir. Soekarno memberi keterangan demikian. Piagam Jakarta diterima oleh Badan Penyelidik pada tanggal tersebut.

Tetapi dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945 yang membicarakan Undang Undang Dasar 1945, termasuk Preambul nya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan bahwa tujuh perkataan yang penting untuk golongan Islam (internal Islam) dicoret.

Hilangnya tujuh kata tersebut, baik' kita ikuti tulisan Bung Hatta:

Pada sore hari saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapat kah saya menerima seorang opsir Kaigun (angkatan Laut), karena dia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Nisyijima sendiri akan menjadi juru bahasa nya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh sungguh, bahwa wakil wakil protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai oleh angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar, yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantum nya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika "diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Inilah sebab- musabab atau asal mula dicoretnya tujuh perkataan....... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Kemudian tujuh perkataan tersebut dikenal sebagai "tujuh perkara Piagam Jakarta".

(Dinukil dari buku Bung Hatta berjudul Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Tintamas, Jakarta, 1969---dalam H. Endang Saifuddin Anshari, MA, Gema Insani Press, Jakarta, 1997).

Catatan; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, antara lain duduk Mr. A.A. Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen. Bukankah dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 12 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang orang Kristen lain antara lain Mr. Latuharhary, seorang pemimpin terkemuka?).

Pendek kata, Bung Hatta berhasil dalam lobbying itu, dan kita mengerti, kedudukan bung Hatta yang tinggi dalam kalangan kita.

Pada perkataan "Ketuhanan" ditambahkan perkataan " Yang Maha Esa". Amendemen itu oleh Ki. Bagus Hadikusumo (idem hal.45-47).

Dan disepakati esok pagi nya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Persiapan. Bung Hatta memanggil tokoh tokoh Islam yaitu Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr.Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan " Ketuhanan Yang Maha Esa" (idem, halaman XVII)! Pengertian dan kesadaran tentang Tuhan Yang Maha Esa bagi tiap tiap pengikut agama hanya dapat diperoleh dari Kitab Suci dan Sumber sumber lain ajaran agama masing masing, seperti misalnya bagi agama Islam dari Al Qur'an dan Sunnah Rasul. Dengan demikian, falsafah negara itu memberi ikatan bersama antara warga negara dan berbagai agama, membuat Republik Indonesia kokoh dan kuat.

Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat bertahan menuju Indonesia Emas di tahun 2045, peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke satu abad (100 tahun). MERDEKA.

Insyaallah. Allahuakbar.***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan