Tradisi Halal bil halal bernuansa Religius
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Tradisi Halal bil halal, adalah tradisi musiman saat usainya umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan.
Berbagai istilah yang melekat melatar belakangi tradisi tersebut sebut saja misalnya istilah " open house" istilah ini biasanya berkembang saat di mana seorang pimpinan lembaga atau instansi pemerintah ataupun swasta mungkin juga kelompok kelompok komunitas tertentu; yang biasanya dilaksanakan di kediaman resmi ataupun pribadi mereka masing, masing yang dilakukan saat hari pertama atau kedua setelah sholat idul Fitri.
Selain istilah tersebut diatas istilah lain juga bermakna sama biasa' menggunakan istilah reuni dari komunitas tertentu biasanya terbatas.
Terlepas dari istilah istilah tersebut, intinya adalah saling bersilaturahmi satu dengan yang lain setelah melaksanakan ibadah puasa ramadhan dengan mengharapkan saling memaafkan atas dosa yang telah dibuat baik sengaja maupun tidak.
Terlepas dari semua itu dari sisi tradisi adalah suatu kebiasaan yang baik, dan tradisi ini hanya dikenal di masyarakat Indonesia. Entah sejak kapan yang pastinya kita belum tahu. Tapi yang jelas secara teoritis ilmu hukum adat ini merupakan tradisi yang bernuansa Religius.
Artinya satu tradisi ataupun kebiasaan suatu masyarakat akan menerima nuansa nuansa atau ajaran agama yang mereka anut (ini namanya teori Receptcio in compleksio-, yang dikembangkan oleh Prof Keyzer dan Prof. Van den Berg). Dan untuk kita di Sumatera Selatan teori ini melekat pada isi Simbur Cahaya (penulis nyebutnya KOMPILASI Simbur Cahaya - bukan Undang Undang Simbur Cahaya: lihat testimoni Prof. Dr. H. M. Koesno SH).
Karena halal bil halal itu bernuansa religius (baca Islam). Maka dalam prosesi acara halal bihalal tersebut jangan sampai membuat dosa baru.
Apa yang kita maksudkan dengan " dosa baru" , karena halal bihalal dilaksanakan usai puasa Ramadhan yang menurut fitrahnya kita kembali suci, dengan doa minta ampun pada Allah SWT.
Nyata masih dalam bulan Syawal, belum lama dari bulan Ramadhan kita membuat dosa baru yang sadar ataupun tidak kita lakukan.
Contoh kita kadang khilaf ataupun tidak tahu bahwa bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang dilarang syariat, kita lakukan.
Bercampur baur laki laki dan perempuan saat bersalaman dengan pimpinan ataupun sesama yang biasanya dibuat berbaris dan sebagainya.
Ini tentu harus dihindari saling jaga satu sama lain
Dan lain lain perilaku yang kita lihat dalam acara halal bihalal tersebut.
Simpulan nya bahwa Tradisi Halal bil halal tersebut jangan sampai merusak kaidah kaidah agama (Islam).
Untuk itu disarankan kepada panitia atau siapapun untuk mengingat atau mengatur prosesi prosesi yang dibolehkan oleh ajaran agama.
Untuk beberapa masjid, sudah merubah tradisi Halal bil halal tersebut, yaitu dilakukan di masjid ataupun di halaman masjid usai bubarnya sholat Ied, dengan alasan praktis untuk mengambil momen tersebut.
Kalau tradisi lama, tapi masih juga dilakukan di beberapa komunitas atau pemukiman di mana warga masyarakat saling kunjung mengunjungi ke rumah rumah pribadi, sehingga mungkin memakan waktu yang lama, kebiasaan bergiliran dari rumah kerumah satu sama lain saling balas membalas. Ini ciri masyarakat guyub istilah Prof. Djojodiguno SH guru besar hukum adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, (masyarakat yang masih homogen) biasanya di dusun dusun di kita Sumatera Selatan.
Berkait dengan adat dan agama (religius, baca Islam). Prof. Dr. H. Hazairin dalam disertasinya "de Rejang", bukunya "Receptcio A. Contrario", mengatakan bahwa Hukum Adat tidak boleh berlaku kalau bertentangan dengan nilai agama.
Hal di atas sesuatu philosofi bangsa Melayu
Adat bersandi Syara', Syara' Bersendikan Kitabullah.
Syara' mengatur, Adat mangato.
Apa yang diatur dalam agama harus ditaati oleh adat.
Kebalikan dari teori "Receptcio" dari Prof. Snouck Hurgronje seorang orientasi bangsa Belanda.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan