Breaking News

Mudik Lebaran Tradisi Bernuansa Religi

Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Bicara makna tradisi ( adat istiadat), selalu di kaitkan dengan agama atau religi dari suatu sistem kehidupan masyarakat.

Hal demikian adalah wajar adanya. 

Sejak zaman kolonial hubungan antara adat dan agama menjadi bahan penelitian bagi sarjana sosial dan hukum pada saat itu. Walaupun sebenarnya tujuan hanyalah untuk kepentingan praktis guna mendukung kebijakan pemerintah kolonial (baca khusus Belanda).

Ambil saja contoh nya hasil penelitian dari Prof. Keyzer dan Prof. Van den Bosch, yang akhirnya menghasilkan suatu tempat teori yang cukup terkenal dan populer di kalangan praktisi maupun teotisi yaitu Teori Receptio in Complektio.

Yang mengatakan Adat budaya dari suatu komunitas masyarakat di warnai oleh agama yang mereka anut (catatan teori ini berkembang mendapat bantahan dari Snouck Hurgronje dan dilanjuti oleh Hazairin).

Dampak teori Van den Bosch tersebut salah satu contohnya adalah SIMBUR CAHAYA (penulis nyebutnya KOMPILASI - Koesno). Zaman kolonial dan memang Simbur Cahaya diterbitkan dan dicetak atas instruksi Van den Bosch tersebut (lihat kata pengantar dari dua terbitan tahun 1854, dan 1927).

Dan terakhir dapat kita baca rumusan hasil simposium Nasional Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 1974, berbunyi

Hukum Adat adalah hukum asli Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan undangan dan mendapat pengaruh agama.

Salah satu yang menarik untuk kita amati adalah adanya tradisi yang sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat luas yaitu tradisi mudik lebaran usai bulan Ramadhan menyambut hari raya idul Fitri setiap tahun biasanya akan mencapai puncaknya satu Minggu menjelang lebaran.

Tentu tradisi ini tidak terlepas dari nuansa agama (khususnya Islam), sebagaimana yang telah di ajarkan dalam teori teori di atas.

Hal ini tidak lain karena adanya perintah atau dorongan dari ajaran agama Islam untuk menyambung tali silaturahmi yang mungkin sudah lama tidak jumpa secara fisik (walaupun sebenarnya secara ratio komunikasi di zaman teknologi informasi sekarang untuk bertegur sapa sangat mudah yaitu melalui sarana yang tersedia).

Namun itu rupanya belum memuaskan bagi anggota masyarakat demi bersilaturahmi saling maaf dan memaafkan satu sama lain.

Memang ciri dari masyarakat yang homogen yang masih kental memegang adat istiadat hal itu masih menjadi program tahunan. Terutama mereka yang merantau baik jauh maupun dekat.

Karena kehidupan masyarakat hukum adat ciri religius tersebut masih sangat nampak di lakukan.

Hidup yang masih bersifat "guyub", istilah Djojodiguno. Masih mencerminkan ciri ciri kebersamaan satu sama lain merupakan satu tujuan (subjek) bukan objek seperti kehidupan modern.

Pentingnya menghadapi tradisi tahunan tersebut (mudik lebaran bernuansa religius), guna ketertiban, keamanan dan keselamatan sampai sampai pemerintah baik pusat maupun daerah saling berkesinambungan satu sama lain.

Demikian juga instansi dan lembaga terkait saling topang guna melancarkan kepulangan masyarakat pengguna transportasi untuk mudik lebaran tersebut. 

Sampai sampai ada program pemerintah dan swasta yang melakukan program MUDIK GRATIS.

Tiket tiket (udara, laut dan darat) sudah mulai di jual, terutama melalui transaksi online dan offline.

Pemandangan adanya kesibukan masyarakat mencapai puncak dua atau tiga hari menjelang lebaran idul Fitri (H-3), kadang kadang juga akan berdampak kemacetan baik di jalur tol maupun jalan yang lain nya. Tentu ini merupakan tantangan bagi yang berwenang untuk mencari solusi yang efektif dan efisien. Jangan sampai niatan untuk bersilaturahmi namun tidak tersampaikan akibat faktor faktor yang mempengaruhi nya. 

Semoga Allah merestui rencana kita semua sesuai dengan doa doa yang dipanjatkan.

Demikianlah beberapa catatan kecil menjelang lebaran idul Fitri 1457 H. Yang insya Allah akan tiba tanggal 10-11 April 2024. Aamiin. ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan