Founding Father Memilih Demokrasi Pancasila
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Ketika Pancasila itu disusun oleh founding father, di mana rumusan Pancasila itu tidak secara tiba tiba datang dari langit, melainkan konseptual - konseptual yang berkembang dalam perdebatan dan begitu luas, dari mereka memandang perkembangan demokrasi di luar sana, yang menggunakan banyak model dan cara - dengan membanding bandingkan nya.
Problem yang berkembang dari realita historis tersebut bisakah kita menerapkan sistem demokrasi tersebut?
Di Indonesia problem nya adalah memilih, tetapi memilih itu menjadikan kita terus menerus sebagai "consumer" dari pikiran pikiran yang dikatakan dari Amerika yang sebenarnya hanya merupakan satu sistem demokrasi dari puluhan sistem demokrasi di dunia..
Dalam situasi seperti ini kenapa kita kehilangan dan kemampuan tidak memilih demokrasi negara Pancasila bukan demokrasi yang ada di Amerika misalnya, karena konteks demokrasi negara Pancasila jauh lebih cocok diterapkan di Indonesia. Seperti one way information yang diambil begitu saja tanpa diperhitungkan kemungkinan kemungkinannya bila diterapkan di Indonesia. Tetapi setidaknya menjadi realita historis bahwa para founding father telah menjelajah dan mempelajari demokrasi secara mendalam, lalu memilih demokrasi Pancasila yang cocok di Indonesia harus seperti apa?
Misalnya melihat perkembangan demokrasi parlementer yang berkembang di Eropa yang sampai kematangannya, secara bersamaan melihat juga sistem demokrasi di Amerika dengan segala kelemahannya. Indonesia harus seperti apa, melihat kelebihan dan kekurangan demokrasi di Eropa secara parlementer dan melihat Presidensialisme di Amerika, kemudian juga melihat demokrasi demokrasi liberal yang kadang individu - individu terkuat mendikte masalah, kemudian menawarkan solusi kepada organisasi politik dan sebagainya, terus dicarikan keputusan nya.
Sehingga kalau kita melihat rumusan Pancasila, proses proses demokrasi hanya ada pada sila ke-empat
nya, walaupun sila sila yang lain dalam Pancasila mensintesiskan seluruh demokrasi yang ada di dunia ini. Lebih lebih - akan dijelaskan, sebenarnya bukan hanya sila ke empat yang menjelaskan tentang demokrasi, tetapi juga sila sila yang ada dari Satu, Dua, Tiga dan Lima, semua itu menjadi 'one Package' tentang satu demokrasi yang dijalankan di Indonesia.
Pada dasarnya demokrasi itu ada dua besaran dari segi prosedur:
Pertama, ciri demokrasi seperti Amerika yang cenderung " majoritarian yakni one man one vote.
Kedua, adalah "consensus democratie", seler berkembang di negara negara Skandinavia, dimana konsensus lebih ditekankan ketimbang majoritarian vote, seperti yang dikenal kan Arlince Pack, bahwa konsensus demokrasi pada dasarnya jauh lebih memenuhi demokrasi ketimbang majoritarian vote, kenapa begitu?
Kalau kita ingat model dasar demokrasi Athena itu menghendaki bagaimana keputusan publik itu dapat diikuti oleh seluruh rakyat secara langsung sehingga orang dapat saling memilih dan dipilih, intinya adalah bagaimana rakyat bisa ikut serta sepenuhnya terlibat aktif dalam proses demokrasi.
Tetapi pada perkembangan berikutnya tidak mungkin melibatkan rakyat ke dalam proses pemilihan mengingat jumlahnya semakin banyak, karena itu menggunakan representatif demokrasi. Tapi intinya seluruh representatif harus membawa serta seluruh aspirasi yang berkembang di masyarakat, dia bilang dengan model majoritarian ala Amerika kadang kadang presiden terpilih pun "layout" populer bisa kalah ketimbang yang dikalahkan. Seperti Algore kalah dari George Bush, sebenarnya Bush kalah jauh populer votenya dari Algore. Realita Algore adalah realita "aturan" majoritarian di Amerika.
Sebuah wilayah yang memiliki penduduk yang lebih besar tidak punya akses ke dalam proses making, karena dia sebagai oposisi. Pihak oposisi harus menahan diri paling tidak lima tahun untuk tidak mengikuti proses making karena dia pihak luar. Artinya tidak semua demokrasi dapat melibatkan rakyat nya seperti yang ada di Athena tapi hanya sebagian kecil saja bagi rakyat yang ikut terlibat dalam proses proses politik, namun model majoritarian ala Amerika ini bisa dimaafkan jika itu dalam Dwi partai dan masyarakat nya homogen,
Berbeda dengan konsensus demokrasi yang berkembang di negara Eropa Skandinavia dengan model demokrasi yang jauh lebih mewakili rakyat, tidak ada oposisi karena menggunakan multi partai sistem. Ini dilatar belakangi masyarakat Skandinavia tidak terlalu suka konflik, lagi pula model demokrasi Amerika tidak mungkin diterapkan di Skandinavia karena tidak bisa menguasai secara mayoritas dan multi partai sistem selalu harus ada kelompok kelompok lain yang disertakan.
Di Indonesia sekarang ini justru politik itu mengakomodasi ketidak seimbangan yang terjadi di pasar akibat penetrasi kekuatan kekuatan tertentu, politik melayani ketidak stabilan di pasar, bahkan sudah merusak tatanan politik itu sendiri. Kenyataan politik tersebut secara tidak sadar menunjukkan bahwa demokrasi liberal Amerika yang dijalankan Indonesia pun tidak terbayangkan menghancurkan politik itu sendiri.
Sebab model majoritarian yang diterapkan itu berangkat dari pandangan, pada dasarnya manusia itu tidak setara dan jangan mencoba untuk menyetarakan, biarkan manusia atau individu individu bertempur dengan sendirinya di pasar, tetapi ketika ketidaksetaraan itu menimbulkan deskriptif oleh orang orang yang terlempar dari pasar dan ketika orang orang yang terlempar mampu melakukan serangan balik maka akan terjadi benturan benturan di pasar.
Dalam rangka colective action problem supaya politik berpihak pada kepentingan kolektif bukan individu, maka ada model deliberative demokrasi. Model ini berbeda dengan model majoritarian karena penentuan legitimasi tidak ditentukan oleh seberapa banyak individu yang mendukung satu putusan tetapi seberapa luas dan seberapa dalam analisisnya dalam melibatkan varian varian yang terlibat dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam konteks deliberative pandangan satu orang pun harus diperhitungkan dalam pembulatan konsesus itu.
Jadi legitimasi keputusan tidak ditentukan oleh seberapa banyak orang yang mendukung melainkan seberapa banyak melibatkan pandangan yang bermacam macam dan pendalaman yang serius dalam konteks demokrasi dan tidak hanya bagaimana memenangkan tetapi juga sebagai proses pembelajaran politik. ***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan