Breaking News

Tantangan Nasional dalam Era Reformasi

Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Pemerintahan dan kelembagaan negara era reformasi, bersama berbagai komponen bangsa berkewajiban meningkatkan kewaspadaan nasional yang dapat mengancam integritas nasional dan NKRI.

Prof. Dr. Mohammad Noor Syam, dalam makalah disajikan dalam Forum Diskusi Terbatas yang dimuat dalam Soenarto Soedarno, 2009: 36-38 merumuskan sebagai berikut.

Pertama, amendemen UUD 45 yang sarat mengandung kontroversial; baik filosofis - ideologis sebagai jabatan dasar negara Pancasila juga secara konstitusional amendemen mengandung sarat kontroversial dan konflik kelembagaan. Berdasarkan analisis demikian berbagai kebijakan negara dan strategi nasional dan sudah tentu program nasional mengalami distorsi nilai - dari ajaran dan neo- liberalisme. Terutama demokrasi liberal dan ekonomi liberal.

Kedua, Rakyat Indonesia degradasi wawasan Nusantara - bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar negara Pancasila, sebagai sistem ideologi nasional -. Karenanya, elite reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekan budaya kapitalisme - liberalisme dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jati diri nasional.

Ketiga, elite reformasi dan kepemimpinan nasional hanya mempraktekkan budaya demokrasi liberal atas nama HAM; yang aktual dalam tatanan dan fungsi pemerintahan negara (suprastruktur dan infrastruktur sosial budaya) hanyalah; praktek budaya oligarchi, plutocrachy... bahkan sebagian rakyat mengembangkan budaya anarchy.

Keempat, NKRI sebagai negara hukum, dalam praktek justru menjadi negara yang tidak menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Praktek dan budaya, Korupsi makin menggunung, mulai tingkat pusat sampai di daerah; provinsi dan kabupaten kota. Kekayaan negara dan kekayaan PAD bukan dimanfaatkan demi kesejahteraan dan keadilan masyarakat, melainkan dinikmati oleh elite reformasi. Demikian pula NKRI sebagai negara hukum, keadilan dan supremasi hukum; termasuk HAM belum dapat ditegakkan sebagaimana ideal nya.;

Kelima, tokoh tokoh nasional, baik dari infrastruktur (orsospol), maupun dalam suprastruktur (lembaga legislatif dan eksekutif) hanya berkompetisi untuk merebut jabatan dan kepemimpinan yang menjanjikan (melalui pemilu dan pilkada). Berbagai rekayasa sosial politik diciptakan, melalui pemekaran daerah sampai usul amendemen UUD 45 (tahap V), sekedar untuk mendapatkan legalitas dan otoritas kepemimpinan demi kekuasaan. Sementara kondisi nasional rakyat Indonesia, dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung belum ada konsepsi alternatif strategis pemecahan nya. Kondisi demikian dapat melahirkan konflik horizontal dan vertikal bahkan anarchime sebagai fenomena sosial - ekonomi - psikologis rakyat dalam wujud strees massal.

Keenam, pemujaan demokrasi liberal atas nama kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukaan dan kedaerahan.

Ketujuh, pemujaan kebebasan atas nama demokrasi dan HAM juga telah membangkitkan partai terlarang PKI. Mulai gerakan "pelurusan sejarah"- terutama G.30. S/ PKI- sampai bangkit nya neo- PKI. ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan