MPR Bukan Lagi Fokus of Power Dalam Sistem Presidensial
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Setelah
MPR mengesahkan amendemen ketiga dan keempat UUD 1945 sistem pemerintahan
negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut
ditetapkan dengan Pasal 1 ayat 2 UUD1945 baru.
MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan fokus of power, lembaga pemegang kedaulatan tertinggi. Pasal 6 A ayat 1 huruf i, menetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Dua pasal tersebut menunjukkan kateristik sistem
presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental normal yang tercantum
dalam Pembukaan UUD dan diuraikan lebih jauh dalam penjelasan nya.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan, dengan pembagian kekuasaan ke tiga cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai Trias politica oleh Montesquiu.
Presiden dan wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan kerja yang lamanya ditentukan
oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah
pembantu pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab pada presiden.
Pertanyaan nya apakah amendemen pasal 1 ayat 2 dan Pasal 6
A, yang merupakan kaidah baru dasar sistem pemerintahan negara Indonesia, akan
membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita cita perumus konstitusi, suatu
pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil, dan efektif untuk mencapai
tujuan negara.
Apakah sistem pemerintahan negara yang tidak konsisten
dengan harapan para perancang konsitusi seperti tercantum dalam pembukaan UUD
akan menjamin kelangsungan kehidupan bernegara dan bangsa Indonesia.
Ternyata tafsiran panja amendemen UUD, yang dibentuk MPR,
tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita cita para
perancang konstitusi pertama.
Bila dikaji secara mendalam notulen rapat rapat BPUPK
sekitar 11-15 Juli 1945dan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang terdapat pada
arsip A.G. Pringgodigdo dan arsip A.K. Pringgodikdo, kita dapat menyelami
kedalam pandangan para founding father tentang pemerintahan negara.
Dalam beberapa rapat di BPUPKI dan PPKI dicapai kata sepakat bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti Inggris, karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas.
Antara cabang legislatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah bagian dari kekuasaan legislatif.
Perdana menteri
dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem presidensial dipandang tidak cocok untuk
Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan.
Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik
berkepanjangan antara legislatif dan eksekutif.
Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan
sebelum masa jabatan nya berakhir.
Ketiga, cara pemilihan Winner takes all, seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda
beda untuk menamakan sistem KHAS INDONESIA tersebut.
Prof. Ismail Suni menyebutnya dengan Sistem Quasi
Presidensial.
Padmo Wahono menamakan Sistem Mandataris
Azhary menamakan nya Sistem MPR. ***
*) Penulis adalah Ketua
Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan