Relevansi Dimasukkan Delik Adat Dalam KUHP Baru
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Kitab
Undang Undang Hukum Pidana, telah diundangkan melalui Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2023.
Dan diberlakukan setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan (Pasal 624 KUHP Jo Pasal 623).
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2023 Lembaga
Negara Tahun 2023 Nomor 1. Tim penyusunan melaporkan kepada Menteri Kehakiman
mengatakan bahwa asas legalitas pasal 1 (1) WvS, yang melarang sumber hukum
tidak tertulis telah dibuka.
Asas tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai.... Mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa menurut
hukum adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tidak ada
persamaan dalam peraturan perundang-undangan.
Barda Nawawi Arif, 1994 mengatakan perumusan ini telah
ditunjukkan karakter asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang
Indonesia yang tidak terlalu formalistik dan terpisah pisah.
Mardjono Reksodiputro,2014, bahwa pembenaran untuk
menjadikan hukum (adat) yang hidup menjadi sumber hukum pidana Indonesia dapat
juga dicari dalam tugas seorang hakim yang berkewajiban mencari keadilan.
Untuk upaya ini maka hakim harus menjaga bahwa seseorang
yang bersalah melakukan perbuatan yang tercela di masyarakat dan patut dipidana
memang mendapatkan pidananya.
Ukuran perbuatan apa yang " TERCELA" dan PATUT
DIPIDANA dapat ditentukan oleh pembuat Perundangan undangan (Perda).
Kewajiban hakim mencari keadilan itu dapat dilihat dalam
ketentuan ketentuan Undang-undang Kehakiman, (misalnya UU No 14 tahun 1970),
yang melarang hakim menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan seorang korban, serta kewajiban nya untuk menggali nilai nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Yang memerlukan perhatian kita dalam kaitannya dengan asas
legalitas dan asas sifat melawan hukum ini adalah bahwa dengan dilonggarkan nya
asas legalitas dengan mengakui adanya DELIK ADAT, kita memasuki pula pembahasan
lain dari asas sifat melawan hukum materiil. Asas legalitas meminta kita hanya
memperhatikan ketentuan tertulis, tujuan nya adalah menguatkan asas kepastian
hukum. Seiring dengan itu juga kita diminta untuk memperhatikan asas keadilan,
yaitu nilai nilai yang hidup dalam masyarakat.
Karena itu, meskipun unsur unsur aturan tertulis telah
dipenuhi oleh perbuatan yang bersangkutan, asas sifat melawan hukum materiil
dapat merupakan alasan penghapusan pidana. Dalam hal delik adat, maka apa yang
terjadi adalah bahwa hakim tidak menggunakan asas legalitas dan menerima adanya
sifat melawan hukum (celaan kuat oleh masyarakat huku
m adat) untuk memidanakan
seseorang pembuat. Jadi di sini asas melawan hukum materiil tidak dapat
digunakan sebagai alasan penghapusan pidana.
Peranan pengadilan bukan hanya menerapkan peraturan perundang-undangan pidana, tetapi dalam menafsirkan peraturan pidana pengadilan pidana telah membuat hukum (Istilah Prof. Soedikno Mertokusumo SH guru besar hukum acara perdata di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dalam bukunya Mengenal Hukum menggunakan istilah Menemukan/ mencari hukum).
Ilmu hukum pidana Indonesia memang membatasi penafsiran
hakim ini hanya pada penafsiran " teologi" (tetap merujuk pada maksud
aturan) dan penafsiran " ekstensif" (lebih luas dari yang pertama)
Dalam hal hakim Pengadilan Negeri membenarkan adanya suatu
delik adat yang tidak ada padanannya, maka hakim telah membuat " Hukum
Tertulis Baru" (hukum tertulis dalam makna Yurisprudensi).
Sedangkan dalam hal hakim membenarkan adanya suatu delik
yang padanannya dalam KUHP, maka hakim telah melakukan penafsiran/
interpretasi.
Ada kemudian besar bahwa penafsiran yang dilakukan di sini
lebih luas dari penafsiran ekstensif.
Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa keinginan untuk
mendapatkan kepastian hukum, secara keliru telah terlalu dikaitkan pada
perlunya ada peraturan perundang-undangan pidana (peraturan tertulis).
Meskipun benar bahwa peraturan tertulis dapat memberikan
perasaan kepastian hukum yang lebih kuat, namun kepastian hukum yang datangnya
terutama dari kepercayaan bahwa hukum pidana tidak diterapkan secara sewenang-wenang
(arbitrair).
Kemungkinan nya hukum pidana adat (delik adat) mempengaruhi
hukum pidana tertulis, seharusnya dapat pula memperkuat rasa kepastian hukum,
karena mendekatkan hukum pidana tertulis dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
Karena itu, hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum yang terakhir dari
lembaga penegakan hukum, hakim juga sebagai Penegak Keadilan, mempunyai tugas
dan kewajiban untuk selalu menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai yang
hidup " menurut adat setempat".
Yang menarik dari kerja tim KUHP Baru, sebut saja misalnya.
Prof. Soedarto, Prof. Ruslan Saleh, Prof. Muladi, Prof Mardjono Reksodiputro
dan Prof. Barda Nawawi Arif serta Prof. Topo Santoso (sebagai promotor Dr.
Hamonangan Albariansyah SH MH), tetap mempertahankan kehadiran Delik Adat (hukum
yang hidup dalam masyarakat) sampai disahkannya KUHP Baru tahun 2023, yang
Rancangan/ idee pertama kali tahun 1960.
Menggunakan istilah HUKUM ADAT SETEMPAT, sesuai dengan
istilah yang digunakan oleh Dewan Penasehat dan Pembinaan Adat Istiadat
Sumatera Selatan di tahun 2000, dalam buku Kompilasi Adat Istiadat Sumatera
Selatan dan Lukisan Adat Istiadat Sumatera Selatan. ***
*) Penulis adalah Ketua
Pembina Adat Sumatera Selatan