Breaking News

Demokrasi dalam Krisis

 
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)

JENDELAKITA.MY.ID - Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita, khusus bicara masalah Krisis Demokrasi, mengawali suatu pernyataan orang banyak bahwa ..... Demokrasi lenyap dari Indonesia.

Pendapat ini beliau bantah bahwa pendapat semacam itu tidak benar. Itu suatu pendapat yang diperoleh dari penglihatan sepintas lalu saja tanpa proses politik yang berlaku di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.

Selanjutnya beliau memberikan pandangan bahwa ..... Demokrasi bisa terlindas sementara karena kesalahan sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan.

(Mohammad Hatta, 2014).

Demokrasi yang kita inginkan sering akan menjadi anarkhi, lambat laun akan menjadi diktator.

Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin pemimpin partai politik.

Semangat yang ultra-demokrasi yang merajalela di dalam dada pemimpin pemimpin partai, mengubah sistem pemerintahan dari presidensiil yang tertanam dalam undang-undang dasar 1945 menjadi kabinet parlementer.

Sistem kabinet parlementer seperti yang berlaku di Eropa Barat, di mana Pemerintah bertanggung jawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari pada sistem pemerintahan presidensil.

Di masa Republik Indonesia yang pertama itu telah dicoba mengubah sistem pemerintahan presidensil menjadi sistem kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri, yang bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.

Alasannya supaya presiden dan wakil presiden dilindungi oleh kabinet yang bertanggung jawab politik, yang setiap saat dapat diganti kalau perlu.

Tetapi dalam prakteknya ternyata, bukan kabinet yang melindungi presiden dan wakil presiden, memagari mereka dengan tanggungjawab melainkan sebaliknya.

Di mana Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak dengan menggunakan kewibawaan nya untuk melindungi kabinet dari kecaman dan serangan rakyat yang tidak puas.

Cerita di atas adalah sejarah masa lalu di awal awal kemerdekaan yang tentu belum banyak pengalaman bagi kita menjalankan roda pemerintahan.

Tapi di negeri negeri yang sudah lama menjalankan roda pemerintahan, jika masih terdapat perbuatan perbuatan menyalahgunakan kekuasaan: bagi beberapa golongan, menjadi partai pemerintah berarti "membagi Rizki".

Golongan sendiri diutamakan, masyarakat dilupakan. Padahal dalam periode periode tertentu hak suara masyarakat mereka perebutkan dengan segala cara baik legal atau tidak legal.

Seorang menteri mendapatkan tugas partai (malah ada ketua partai politik yang mengatakan bahwa mereka adalah petugas partai) untuk melakukan tindakan tindakan yang memberikan keuntungan bagi partai nya.

Biasanya untuk keperluan uang guna biaya pemilihan umum sebab kecurangan.

Bukan menjadi rahasia lagi berapa banyak menteri yang terkait dengan kasus yang ditangani penegak hukum itupun bukan mustahil juga terjadi di lembaga lembaga negara lainnya.

Partai yang pada hakikatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar rakyat belajar merasa bertanggung jawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya.

Ironisnya dalam hal merekrut pegawai di jabatan jabatan penting orang lupa akan dasar tanggung jawab dan toleransi demokrasi.

Sering keanggotaan partai menjadi ukuran, bukan dasar "the right man in the right place".

Bagi yang tidak berpartai atau partainya sebagai partai oposisi mereka kehilangan pegawai yang berkualitas.

Ini merusak ketentraman jiwa pekerja, mendorong untuk melakukan kecurangan dan korupsi mental.

Aturan etika, karakteristik petugas partai politik kepartaian itu menghidupkan yang sebaliknya, mengasuh orang luntur karakter. Akhirnya orang masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan.  ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan