Peranan Hakim Dalam Menggali Delik Adat
Jendelakita.my.id - Seperti sudah kita maklumi bersama bahwa hakim , berperan dalam memeriksa perkara DELIK ADAT, baik yang ada padanannya atau tidak, sangat lah penting.
Tugas pertama harus dilaksanakannya adalah menguji apakah memang ada delik adat, sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum yang menerima perkaranya dari polisi yang menerima laporan dari si korban.
Kadangkala hakim (pengadilan) baru pertama kalinya mendengar bahwa suatu peristiwa hukum diajukan sebagai Perbuatan yang menurut hukum adat setempat patut dipidana dan tidak ada persamaan nya dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam keadaan seperti ini, maka hakimi Indonesia yang aktif dapat lah melakukan suatu "pretrial investigation" dengan antara lain mendengar pemuka pemuka adat setempat.
Di sini sepertinya peranan Pemangku Adat sangat penting baik di kabupaten kota ataupun provinsi untuk meningkatkan pengetahuan peraturan perundang-undangan di samping hukum adat setempat yang tentunya selalu dinamis.
Dinamis karena hukum adat merupakan bagian dari kebudayaan.
Kebudayaan merupakan hasil cipta karsa dan rasa manusia (Koentjaraningrat) atau hasil dari Budi dan Daya Manusia untuk menghadapi tantangan alam dan zaman (Ki Hadjar Dewantara).
Sidang praperadilan yang dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP, UU Nomor 8 tahun 1981), mungkin dapat digunakan untuk hal ini.
Pemeriksaan pendahuluan melalui lembaga Pra Peradilan ini dapat memberikan kepastian pada hakim apakah "delik adat" yang didakwakan memang ada dan bagaimana sebenarnya "hukum" nya.
Barulah nanti dalam sidang pemeriksaan tentang kesalahan pembuat, hakim akan menguji apakah perbuatan terdakwa memenuhi kriteria hukum adat yang bersangkutan.
Dalam menentukan bagaimana hukumnya dari suatu delik adat yang didakwakan, maka kalangan ilmiah hukum harus dapat memberikan pedoman kepada pengadilan (inilah fungsi Perda), manakala batas batas antara " hukum adat" (hukum asli masyarakat adat setempat) dan "kebiasaan setempat".
Mungkin kita dapat menarik suatu garis batas waktu, sebelum batas waktu mana norma norma yang berlaku pada waktu itu dan masih merupakan" hukum yang hidup dalam masyarakat ", pada waktu ini dapat kita namakan "hukum adat", untuk keperluan penentuan "delik adat" menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana Baru.
Daerah daerah di mana hakim dapat memperhatikan kemungkinan adanya "delik adat " ini perlu pula dibatasi.
Hukum adat yang akan digunakan sebagai dasar untuk "delik adat" yang bersangkutan harus lah pula hidup terus dari batas waktu tersebut sampai adanya perkara yang bersangkutan.
Syarat syarat lain yang harus diperhatikan akan berlakunya "hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan hukum yang hidup dalam masyarakat seseorang patut dipidana", perlu pula dibicarakan oleh para ahli hukum adat dan antropologi hukum.
Kesemuanya ini, nantinya akan memudahkan tugas dari hakim dalam menentukan "delik adat" yang berlaku sebagai "hukum yang hidup dalam masyarakat" ( Zainal Abidin, 1994).
Para sarjana hukum diharapkan agar dapat meneliti, mempelajari dan memantau perkembangan teori maupun kenyataan lapangan mengenal diberlakukan nya delik adat dalam KUHP Baru.
Masa akan datang merupakan masa perkembangan yang akan sungguh menarik untuk ilmu hukum pidana di Indonesia.
Ini suatu tantangan untuk mengembalikan lagi semangat untuk mempelajari hukum adat khusus delik adat, yang selama ini di dalam kurikulum pada fakultas hukum baik negeri ataupun swasta semakin hari semakin dihilangkan.
Pada tahun awal pelaksanaan sistem kredit semester (SKS), disekitar tahun 1993 mata kuliah dikurangi bobot SKS nya dari 6 SKS, merosot ke 4 SKS dan terakhir tinggal 2 SKS.mungkn juga ada pemikiran untuk menghapusnya.
Demikian kondisinya yang pernah ikutan perkembangan nya mulai dari hasil Konsorsium ilmu hukum yang diketahui oleh Prof. Moechtar Koesumaatmadja dan sekretaris nya Prof. Mardjono Reksodiputro sebagai salah satu tim perumus KUHP Baru. ***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan