Pancasila Mengakui dan Melindungi Hak individu
JENDELAKITA.MY.ID - Bung Karno mengatakan: Pancasila itu berjiwa "kekeluargaan", paham kekeluargaan ini adalah paham mengenai pergaulan hidup, dan tentunya ada sangkut pautnya dengan pengertian "keluarga".
Paham kekeluargaan berasal dari keluarga ini, dan mengingat corak susunan nya membawa suatu kesimpulan, bahwa paham kekeluargaan yang menjiwai Pancasila itu mempunyai tolak ukur pemikiran dari Kesatuan "dalam Perbedaan: Perbedaan dalam Kesatuan.
Ini mengandung arti, bahwa dalam tiap tiap kesatuan mengandung arti, bahwa dalam tiap tiap kesatuan diakui dan dilindungi tiap tiap bagian dalam kesatuan itu; jadi juga tiap individu yang terdapat dalam kesatuan pergaulan hidup manusia.
Memang paham kekeluargaan ini benar menjiwai "Pancasila", terbukti dalam kenyataan, bahwa tolak pangkal pikiran itu ditemukan kembali dalam sila sila Pancasila.
Suatu tolak pangkal pemikiran Soekarno yang dinyatakan Bung Karno dengan " internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam nasionalisme; nasionalisme tidak dapat hidup kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme (Soedirman Kartohadiprodjo, 2010).
Sistem pemerintahan kita, bagaimana pun nama nya yang diberikan kepada nya, sistem pemerintahan itu harus mempunyai akarnya dalam undang-undang dasar kita. Kalau tidak, maka tidak cocok dan harus diubah, atau undang undang dasar nya yang harus diubah sedemikian sampai sistem yang kita pilih itu menemukan dasar di dalam nya. Kalau hal itu tidak dilakukan, maka Undang Undang Dasar yang maksudnya supaya merupakan dasar keterampilan, akan memberikan akibat sebaliknya; ialah kekacauan. Lebih lebih pertalian itu harus kita antara sistem pemerintahan kita dan Undang Undang Dasar kita.
Tampaknya pemikiran Pancasila mengenai negara ialah bahwa Negara itu adalah suatu organisasi kesatuan kelompok manusia di bagian muka bumi yang tertentu untuk mencapai kebahagiaan (Ibid).
Juga " pengakuan dan perlindungan individu"tidak dilupakan, bahkan menjadi jiwa pemerintahan kita.
Suatu " pengakuan dan perlindungan" tidak lahiriah belaka seperti halnya dalam " demokrasi", melainkan meresap ke dalam " bathin" pula.
Bukankah pemerintah dan lain lain penyelenggaraan negara wajib untuk memelihara Budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita cita moral rakyat yang luhur.
Dengan jiwa demikian tidak mungkin dibayangkan suatu tindakan semena mena terhadap rakyat, baik sebagai kesatuan, maupun secara individual, dengan tidak melakukan pelanggaran yang fundamental.
Soedirman Kartohadiprodjo dalam bukunya Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, memberikan catatan agar dihindari penggunaan nama "demokrasi" dalam tiga hal.
Pertama, karena "demokrasi" masih terlalu dekat dengan individualisme, padahal ini sudah kita tinggalkan dengan menerima Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia.
Kedua, alasan negatif, karena menimbulkan kecurigaan pada "pure sang" demokrasi demokrasi; dan kalau nanti didapatkan unsur unsur dalam sistem kita yang tidak mencocoki demokrasi yang menjadi pikiran mereka - yang tradisional - maka mereka mengambil kesimpulan kesimpulan, yang dapat merugikan setidak tidaknya menambah kesulitan kita.
Ketiga, alasan positif, dengan menamakan Pemerintah Pancasila, maka kemungkinan yang digambarkan di bawah "kedua" itu dapat dihindarkan dan sebaliknya, nama ini dapat menstimulasi untuk lebih mengetahui apa yang menjadi isi Pancasila kita itu, suatu dasar pikiran yang malahan kita tawarkan sebagai dasar pembentukan dunia baru "to build the world a new" (ibid.,).
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan.