Breaking News

Kontribusi Hukum Adat Menata Hubungan Kerja Masyarakat Industri


 Opini Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Persoalan ini kiranya hangat untuk dibahas, jika saja HUKUM ADAT sudah tidak merupakan persoalan lagi baik dari segi konsep maupun fakta nya, Maja akan lebih mudah mencari jawaban nya. 

Namun apabila, mungkin dilandasi oleh suatu pandangan bahwa konsep konsep tentang Hukum Adat yang selama ini belum memadai. Ada benarnya, jika saat ini masih dipersoalkan apa dan bagaimana Hukum Adat itu?. 

Untuk itu akan lebih aman kiranya jika kita kembali pada Genusnya, yaitu adat, yang dalam hal ini merupakan salah satu wujud kebudayaan. 

Dengan demikian, relevansi pembahasan kali ini, bukan pada adatnya yang di dalamnya berisikan nilai nilai. 

Istirahat Hukum Adat sendiri sebenarnya tidak dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya. 

Di desa desa mereka lebih menggunakan istilah ADAT dan PADATAN. 

Akan tetapi dari pendekatan fungsional, sebagaimana yang dilakukan oleh Person, terlihat bahwa ada suatu faktor yang mampu mengintegrasikan mereka. 

Faktor tersebut adalah nilai nilai umum yang disepakati bersama. 

Dalam hal ini nilai nilai primer yang menjadi dasar dan pegangan setiap interaksi sosial. 

Nilai nilai itu tumbuh dan berkembang pada lingkungan sosial terkecil, yaitu keluarga, yang selanjutnya menjadi semacam kaidah hidup, yaitu rukun dan hormat. 

Rukun intinya menghendaki tidak adanya perpecahan dan hormat merupakan suatu hubungan horizontal antar manusia.

Prof Dr HM. Koesno SH, guru besar hukum adat Universitas Airlangga Surabaya dan guru besar hukum adat di luar negeri, menyebutkan bahwa jika terjadi sengketa di antara warga masyarakat, diselesaikan, bukan diputuskan, berdasarkan tiga asas kerja yaitu RUKUN, PATUT, LARAS.

Harmonisasi sebagai suatu nilai umum terhambat menjadi kaidah hidup rukun dan hormat serta dari sini muncul asas asas perhubungan sosial seperti gotong royong, musyawarah, kekeluargaan, tolong menolong, sambat sinambat, dan lain lain.

Hubungan diantara satu dengan yang lain dilihat sebagai tujuan bukan sarana, yang menjadikan sesama warga hidup dalam suasana guyub. 

Hal semacam ini tentu saja erat kaitannya dengan suasana kebatinan masyarakat dan perwujudannya adalah kehidupan sehari-hari. 

Semua itu tujuannya adalah ganda, yaitu memayu-hayuning-bawana.

Di dalam setiap perhubungan sosial, implisit hubungan kerja, penjabaran dari nilai nilai dan kaedah hidup tersebut di atas adalah sebagai berikut.

Pertama, hubungan antara manajemen dengan tenaga kerja merupakan suatu hubungan paguyuban yang dilandasi oleh kaedah rukun dan hormat satu sama lain. Hal ini berarti bahwa antara manejemen dengan tenaga kerja ketika akan mengadakan perjanjian kerja, modus nya menurut Erich Fromm yang dikutip oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto adalah saling menjadi, bukan memiliki. 

Hal itu bisa terjadi jika telah dipenuhi syarat syarat: persamaan, kerja sama, keterbukaan dan kepercayaan. 

Jadi jika asas hubungan kerja seperti di muka bisa menjadi pegangan di antara manejemen dan tenaga kerja, sifat hubungan kerja mungkin tidak perlu kontraktual dan tertulis.

Kedua, agar hubungan kerja senantiasa berada dalam suasana paguyuban, tetapi tidak mengabaikan kenyataan perbedaan, kemampuan antara manejemen dengan tenaga kerja dalam ekonominya, perlu adanya perlindungan terhadap tenaga kerja.

Perlindungan itu bukan semata mata perlindungan yang berkonotasi dengan usaha mencukupi kebutuhan, tetapi dimensi immaterial nya hendak nya tidak diabaikan. 

Kongkrit nya, dalam batas batas tertentu, tenaga kerja tidak diperlukan sebagai orang lain.

Pola pemikiran seperti di atas telah terurai dalam disertasinya Dr. Hamonangan Albariansyah SH MH berjudul Penyelesaian Tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja Melalui Keadilan Restoratif, sebagai salah satu contoh nya.

Berangkat dari hal hal di atas, persoalan penataan hubungan pada Masyarakat Industri mendatang, seharusnya tidaklah berorientasi kepada kepastian hukum semata, melainkan kepastian nilai yang mendasari hubungan kerja. 

Dengan demikian kontribusi adat dalam menata hubungan kerja pada masa mendatang dalam Masyarakat Industrial, di samping perlu dipertahankan dan dikembangkannya nilai-nilai adat pada setiap insan yang terlibat dalam proses industrialisasi, juga tidak kalah penting adalah mengkaji kebiasaan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan kerja dewasa ini.

Simpulan:

Pertama, jika hukum adat masih diterima sebagai hukum, ia perlu mendapatkan pengkajian lebih lanjut, terutama dari segi konsepnya sehingga akan muncul konsep baru tentang Hukum Adat yang benar benar relevan dengan eksistensi nya.

Kedua, jika nilai nilai adat dipandang masih mempunyai relevansi sosial budaya terhadap apa yang disebut Masyarakat Industrial, terutama dalam kaitannya dengan penataan kerja, maka persoalan nya adalah.

a. Bagaimana mengakomodasikan nya dalam hukum yang akan diberlakukan untuk masa depan?

b. Bagaimana menyiapkan kondisi yang kondusif untuk keperluan di atas?

Itu merupakan tugas kita bersama agar terwujud CITA HUKUM, yaitu antara lain adanya Demokrasi Ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI tahun 1945.***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan