Breaking News

Hukum Adat Dalam Menyongsong Industrialisasi

 

Opini Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Seperti telah kita bahas pada artikel artikel sebelumnya, maka praktek dalam industri, baik di Jepang maupun di Indonesia, menunjukkan adanya kombinasi antara peraturan tertulis dan hukum tidak tertulis / hukum adat, kalau istilah Suroyo Wignyodipuro yaitu Kebiasaan.

Mudah diubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman dan keharusan teknologi.

Pemerintah Hindia Belanda dahulu baru memikirkan industrialisasi setelah Negara Belanda jatuh ke tangan Jerman. Itupun hanya mengenai bahan baku, seperti semen, gelas, sida, pupuk, tekstil, kertas dan plywood, serta pengolah besi. Jadi semuanya industri primer. Padahal pertimbangannya adalah sekedar menanti sampai negeri Belanda dapat dibebaskan dari tangan Jerman. 

Diharapkan agar Hindia Belanda dapat membantu negeri Belanda dengan pembangunannya kembali. Belum sempat segala sesuatu dikerjakan, tentara Jepang sudah menduduki Indonesia.

Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa tradisi industri di Indonesia belum banyak perkembangan. Hal ini mempersulit investor asing karena mereka terbiasa bekerja dengan tradisi dan peraturan yang mantap.

Pertanyaan sekarang adalah apa fungsi Hukum Adat dalam menyongsong industrialisasi?. Jika ruang lingkup Hukum Adat hanya meliputi apa yang dibicarakan oleh Ter Haar maka fungsi Hukum Adat akan memudar. 

Sekarang bergantung kepada para pakar Hukum Adat, apa berani memperluas definisi hukum adat sehingga dapat meliputi keadaan di kota dan keadaan modern. Jika ada keberanian ini, maka pekerjaan Hukum Adat sangat banyak.

Suatu hal yang jarang dibicarakan dalam Hukum Perdata Barat ialah hubungan kerja. Menurut teori BW, maka dapat diadakan perjanjian kerja perseorangan ataupun kolektif, perjanjian kerja kolektif, sekarang tidak banyak berjalan karena tidak adanya serikat buruh tidak ada serikat buruh atau walaupun ada biasa pengurusnya anggota staf, seperti terjadi pada beberapa perusahaan asing

Barangkali ada manfaatnya untuk mengadakan penelitian tentang perjanjian kerja dalam beberapa bidang kegiatan industri. Bagaimana perjanjian kerja, merupakan suatu hal yang menarik untuk dipantau. 

Mengingat pula bahwa para pemberi jasa adalah urban dari desa, maka dapat diperkirakan bahwa perjanjian kerja tidak terlalu menguntungkan bagi mereka. Ada kemungkinan bahwa upah diberikan menurut selera majikan.

Evan dan Timberlake dalam Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa semakin lama negara negara yang sedang berkembang semakin tergantung dari modal asing.

Dikatakan juga investasi asing cenderung untuk mempertinggi konsumerisme. Untuk memenuhi kebutuhan akan barang konsumsi ini, maka orang desa berbondong bondong ke kita. Para urban ini memasuki lapangan kerja yang marginal, yaitu bidang jasa yang tidak memerlukan ketrampilan khusus.

Ada kemungkinan bahwa di kota kota besar terdapat calo calo tenaga kerja, baik untuk dalam maupun luar negeri.

Bagaimana perjanjian kerja dalam dengan kontraktor kontraktor bangunan asing maupun domestik, hanya dapat dibaca sebagai berita di koran koran, tetapi sebenarnya menarik untuk dipelajari dari segi Hukum Adat dalam arti hukum tidak tertulis. Kesimpulan

Ruang lingkup Hukum Adat atau hukum tidak tertulis perlu diperluas dan dipertegas. Kebanyakan kebiasaan kebiasaan yang tidak dapat diliputi oleh hukum tertulis.

Lebih lebih karena hukum tertulis berasal dari zaman lebih dari satu abad yang lalu.

Jika banyak kebiasaan tidak diliput, maka akan terjadi ketidak pastian hukum, dan dan dapat mengganggu keselarasan dalam masyarakat.

Dalam menyongsong industrialisasi dapat diramalkan bahwa akan terjadi pelanggaran pelanggaran akan hak pribadi dan hak asasi manusia. Lebih lebih karena dalam banyak hal masyarakat dalam keadaan yang lebih lemah. 

Harus kita akui bahwa Indonesia masih hidup dalam struktur ekonomi tradisional atau struktur ekonomi jasa, yang paling rawan kedudukannya dalam menghadapi struktur ekonomi uang karena uang tersedia dalam jumlah yang terbatas, sedang tenaga kerja tersedia dalam bentuk hampir hampir tidak terbatas.

Dalam hal ini hukum adat sebagai suatu disiplin dapat berbuat banyak untuk memperkirakan apa yang terjadi dengan mengumpulkan keajekan keajekan yang pada waktu sekarang dan di waktu yang lampau.

Untuk keperluan ini, maka hukum adat harus memperkuat diri sebagai disiplin yang lebih canggih yang mempunyai tujuan jelas, yaitu melindungi yang lemah. 

Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka hukum adat sebagai suatu disiplin ilmu akan lenyap ditelan waktu. Gejala gejala seperti ini sudah terlihat. 

Beberapa contoh perguruan tinggi negeri dan swasta yang mulai meninggalkan mata kuliah hukum adat, akibat kesalahan sudut pandang yang statis, baik materi maupun satuan mata kuliahnya masih yang itu itu juga, yang umumnya sudah out of date.***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan