Efektivitas Hukum Adat Dalam Realitas
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Soedjito
Sastrodihardjo mengutip William Isaac Thomas (1980;26), sebelum orang
mengadakan tindakan, terlebih dahulu diadakan pengamatan dan pendalaman, yang
disebutnya dengan fase " definition the situation".
Dalam hal ini, kerapkali ada pertentangan antara definisi
perseorangan dan definisi masyarakat, khususnya dalam arti sempit.
Definisi perseorangan ditujukan kepada kesenangan dan
kemudahan. Definisi komunalitas kepada stabilitas dan keamanan.
Khususnya dalam hukum adat yang digunakan adalah pengalaman
pengalaman yang sudah agak lama, sedangkan pengalaman individu terjadi hanya
sepanjang ingatan nya saja.
Jika masyarakat tidak dapat memberikan definisi yang jelas
tentang situasi tertentu atau kalau yang digunakan ukuran pengalaman pengalaman
lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang, maka kekuatan definisi itu
tidak kuat.
Ambil contoh misalnya kita di masyarakat Sumatera Selatan
selalu mengingat ingat betapa indahnya seandainya Simbur Cahaya tetap
diberlakukan sampai sekarang. Ini suatu definisi yang hanya berdasarkan
pengalaman pengalaman pribadi yang tidak sesuai lagi dengan realita.
Hal angan angan demikian bukan hanya masih menjadi cerita di
masyarakat biasa tetapi juga masih ada kelompok kelompok intelektual yang masih
berpikir seperti itu.
Susunan masyarakat sudah berubah, mobilitas penduduk sangat
tinggi, lebih lebih di kalangan penduduk desa desa yang jaraknya dari kota
dapat dengan mudah.
Hubungannya dengan keadaan desa sangat lemah menurut Ter
Haar (1946), sebuah komunitas teritorial dalam hukum adat menghendaki agar
anggota atau warga masyarakat atau komunitas ini diterima dalam hubungan gotong
royong dan tolong menolong.
Timbul pertanyaan, apakah warga selalu bepergian ini dapat
diharapkan untuk menjalin hubungan gotong royong dan saling tolong menolong
ataukah konsepsi seperti ini tidak lagi berlaku bagi masyarakat yang mengalami
mobilitas yang begitu tinggi. Gotong royong memang merupakan atribut dari
masyarakat tradisional yang struktur ekonominya masih berupa jasa.
Lebih lebih dengan semakin masuknya pengaruh pemerintah di
pedesaan, seperti halnya Undang Undang Pemerintahan Desa, maka dapat
diperkirakan bahwa lambat laun ruang lingkup hukum adat menjadi semakin sempit.
Hal ini tidak berarti bahwa Hukum Adat akan lenyap begitu saja.
Semua itu bergantung pada perubahan pola berfikir
mendefinisikan apa itu hukum adat.
Dan memang dewasa ini di masa transisi perubahan pola
pemikiran dimaksudkan, dari yang membedakan sebagai norma/ ugeran istilah Prof.
M.M. Djojodiguno SH guru besar hukum adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dan hukum adat sebagai nilai nilai yang hidup dalam masyarakat (istilah Prof.
M. Koesnoe, dan Prof. Satjipto Rahardjo).
Sehingga kalau kita tetap pada pola pertama, dimana hukum
adat dilihat dari kacamata norma maka akan tertinggal dengan perkembangan
masyarakat maka tepat kata Prof. Soerjono Soekanto Guru Besar Sosiologis Hukum
Universitas Indonesia bahwa Hukum adat itu adalah membicarakan suatu studi
SEJARAH HUKUM.
Hukum Adat diterjemahkan dengan Adat Law dalam bahasa
Inggris dan dalam bahasa Belanda disebut Adatrecht (Catatan kecil yang parahnya
lagi buku buku kolonial dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
sekarang masih diikuti oleh para sarjana hukum kita berpendapat Hukum Adat
berasal dari Adatrecht.
Bukan Adatrecht yang menerjemahkan Hukum Adat (lihat Prof.
Tambun Anyang dalam pidato pengukuhan nya sebagai guru besar hukum adat di
Universitas Pontianak Kalimantan Barat (teman sejawat penulis saat di pusat
studi ilmu hukum adat dan hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Syach Kuala
Banda Aceh, tahun 1980-1983, di bawah binaan Prof. Dr. H.M. Koesnoe SH).
Nama nama ini mengingat kita bahwa hukum adat merupakan
salah satu lembaga masyarakat yang khas dan mengikuti struktur sosial ekonomi
tradisional.
Sejak zaman Hindia Belanda, Hukum Perdata Adat dibatasi
dengan beberapa ketentuan, yaitu boleh menyimpang dari hukum adat jika
kepentingan umum atau keperluan keperluan orang pribumi menghendakinya (pasal
131 ayat 2 b Indische Staatsregeling).
Demikian pula dapat ada penyimpangan jika bertentangan
dengan asas asas yang telah diakui umum tentang keadilan (pasal 75
Regeringsreglement) lama (Yang anehnya pula pasal 131 ayat 2 b Indische
Staatsregeling ini masih digunakan oleh sarjana hukum sebagai dasar berlaku
hukum adat; anehkan walaupun sudah merdeka, pola seperti ini yang harus
diubah).
Memang, penjajah dahulu, dengan bermacam macam dalih
kemanusiaan telah membekukan keadaan yang statis, sekaligus juga agar
mendapatkan tenaga kerja yang murah. Malah dengan kerja paksa. Apakah kita
perlu mempertahankan nilai nilai yang menyebabkan kita stagnan selama sekian
lama.
Pertanyaan seperti ini timbul pula dalam persoalan Hukum
Adat, Apakah Hukum Adat akan kita pertahankan sebagai mata kuliah seperti yang
sudah sudah ataukah perlu ada perubahan?
Sebagai mantan akademisi selama empat puluh tahun menggeluti
mata kuliah hukum adat dan sebagai praktisi di lembaga lembaga adat di Sumatera
Selatan khususnya; saya mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan peka yang
perlu kita tangani secara serius.
Kebetulan sekarang 23-25 Februari 24 teman teman dosen
fakultas hukum Universitas Sriwijaya sedangkan mengadakan rapat kerja di pulau
Belitung Provinsi Bangka Belitung. Mungkin bisa memasukkan agenda pembahasan
tentang pengajaran mata kuliah HUKUM ADAT di FH UNSRI Palembang. ***
*) Penulis adalah Ketua
Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan