Faktor Penyebab Hukum Adat Kurang Diminati
Opini Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Dalam persoalan ini, baiklah kita berterus terang, apakah sekarang ini ada nilai nilai penelitian hukum adat yang setaraf dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Soepomo dan Prof. Mr. M.M. Djojodiguno ataupun Prof Dr. H.M Koesno, SH?.
Mungkin penelitian pernah dilakukan, tetapi belum pernah diterbitkan atau tidak dikenal, maka juga tidak disayang.
Dengan tidak adanya penerbitan yang berkualitas tinggi tentang hukum adat, maka timbul pertanyaan dari mana sumber hukum adat yang digunakan oleh hakim?.
Apakah dengan perasaan keadilan saja cukup ataukah masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi.?
Seperti telah diuraikan di atas, maka hukum adat menimbulkan kesan kuno dan tradisional, sehingga dirasakan bahwa hukum adat seakan akan hanya membicarakan hal hal yang telah lampau dengan melupakan hal yang kini sedang terjadi.
Timbul juga kesan, seakan akan hukum adat hanya membicarakan hal hal yang bersangkutan dengan masyarakat desa yang sifatnya agraris, padahal ada juga desa yang sudah memasuki zaman industrialisasi terutama di pulau Jawa , Klaten contohnya.
Dalam hubungannya dengan kesan ini, maka perlu diingat bahwa struktur ekonomi pedesaan pada umumnya mempunyai perbedaan yang besar dengan perekonomian perkotaan. Dalam masyarakat pedesaan terdapat kekurangan peredaran uang dan kurangnya pengetahuan tentang cara mengelola uang. Bukan untuk deposito kan di bank, tetapi biasanya dibelikan barang barang konsumtif.
Untuk menutup kekurangan akan uang, maka yang digunakan adalah jasa atau tenaga kerja.
Jasa dan tenaga kerja digunakan sebagai sarana pembayaran atau pengganti uang. Contoh nya lembaga ijon, yang banyak terdapat di Desa.
Hukum adat yang lebih banyak mengatur masyarakat dengan struktur ekonomi jasa tidak dapat berbuat banyak, bahkan kemudian tersisih oleh hukum yang mengatur masyarakat dengan struktur ekonomi uang.
Akibatnya adalah bahwa secara hukum perdata, kedudukan mereka yang masih hidup dalam struktur ekonomi jasa menjadi sangat lemah.
Fungsi hukum adalah mengayomi, maka jika fungsi ini tidak dapat dipenuhi tentu saja orang meragukannya. Hal yang demikian lah antara lain sebab timbulnya kurang kepercayaan terhadap Hukum Adat.
Untuk dapat memperoleh kepercayaan, maka penelitian Hukum Adat jangan hanya ditujukan kepada masyarakat pedesaan, tetapi juga masyarakat perkotaan. Selama hukum adat berorientasi ke arah ekonomi jasa, maka semakin lama Hukum Adat semakin terdesak.
Timbul juga kesan bahwa hukum tertulis lebih kuat kedudukan nya daripada hukum yang tidak tertulis.
Dalam pada itu, dalam bidang hukum sudah terlanjur terdapat pembagian bidang bidang yang sangat ketat. Dalam menghadapi keadaan seperti ini, maka para pakar Hukum Adat harus berani mengadakan perubahan pada definisi Hukum Adat dan menyisihkan definisi Hukum Adat seperti yang digunakan dalam Undang-undang kolonial dan literatur sebelum perang.
Definisi yang kini digunakan untuk Hukum Adat memberikan kesan bahwa yang dibicarakan adalah kebiasaan kebiasaan rakyat yang tidak mencakup kebiasaan kebiasaan yang digunakan dalam perdagangan, hukum kerja, kebiasaan kebiasaan dalam dunia modern.
Jika definisi Hukum Adat dapat mencakup kebiasaan kebiasaan dalam dunia modern, maka mungkin hukum adat akan lebih kuat kedudukan nya.
Mungkin sekali karena tidak ada atau belum ada literatur tentang Hukum Adat yang otoratif, maka yang dijadikan acuan adalah buku buku seperti tulisan Ter Haar.
Suatu hal yang menghambat pula perkembangan Hukum Adat, adalah kesalahan pahaman mengenai konsepsi Gemeinschaft dan Gesellschaf. Dikatakan bahwa Gemeinschaft adalah hubungan tanpa pamrih, sedangkan Gesellschaf adalah sebaliknya.
Dikatakan juga bahwa desa adalah Gemeinschaft. Ini merupakan kesalahan yang sangat besar.
Gemeinschaft juga dapat ditemukan di kota
Padahal Prof Djojodiguno sebenarnya, mengatakan bahwa gerakan Gemeinschaft, yang ditujukan adalah orang nya., sedang dalam Gesellschaf yang dituju adalah barangnya.
Jika pengertian yang salah tentang desa diterapkan dalam hukum adat, maka dikatakan bahwa hukum adat hanya mengatur soal Gemeinschaft, karena desa dianggap sebagai Gemeinschaft, sedangkan Hukum perdata barat mengatur hubungan Gesellschaf.
Jika berpegang pada ucapan Prof. Djojodiguno, maka jelas bahwa Hukum adat juga mengatur hubungan tentang barang dan bukan hanya ditujukan pada hubungan orang satu dengan orang lain.
Mengingat juga bahwa hubungan Gemeinschaft juga terdapat di kota, maka sudah sewajarnya jika hukum adat juga membicarakan tentang kebiasaan kebiasaan di kota, apalagi ada kecenderungan bahwa desa berubah menjadi kota.
Simpulan nya bahwa , kurangnya berminat pada hukum adat antara lain adalah.
Pertama, kurangnya penelitian hukum adat yang bernilai tinggi dan berkualitas;
Kedua, masih adanya kesalahan pahaman tentang hukum adat, akibat politik kolonial yang sengaja membuat sekat sekat cara berfikir;
Ketiga, pada umumnya pengajaran hukum adat masih menggunakan literatur literatur yang sudah out of date, sehingga berkesan seperti statis.
Diharapkan ke depan para pemerhati hukum adat baik yang berprofesi akademisi ataupun praktisi sudah harus berubah pola pikirnya.
Ambil contoh yang pernah diajarkan oleh Bung Karno, beliau berhasil menemukan nilai nilai Pancasila yang sampai sekarang tetap lestari, adalah berasal dari nilai nilai budaya Nusantara.
Sehingga beliau mengatakan dirinya sebagai PENGGALI atau PERUMUS Pancasila (lihat pidato beliau saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajahmada Yogyakarta tanggal 19 September 1951berjudul Ilmu dan Amal Geest-Wil-Daad.***
*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan