Hukum Untuk Perdamaian
![]() |
Albar Sentosa Subari - Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Subtansi penyelesaian sengketa
berdasarkan potensi lokal adalah upaya kongkrit para pihak yang berselisih
untuk menemukan hukumnya sendiri diamati,
maka upaya penyelesaian perselisihan atau sengketa yang
mengunjung pada perdamaian telah lama dikenal bangsa Indonesia,
bahkan upaya upaya tersebut telah melembaga ke dalam apa
yang disebut peradilan adat (doorpsjustice).
Pada masa dahulu peradilan adat/ desa ini ada di Nusantara
pada dasarnya menjalankan kewenangan,
selain sebagai pengadilan pidana, juga hukum perdata.
Apabila proses penyelesaian sengketa berdasarkan potensi
lokal diukur dengan praktek penyelesaian sengketa yang ada sekarang,
maka proses penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal,
yang pada masa silam tampak sederhana.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa bentuk
masyarakat saat itu merupakan masyarakat sederhana.
Kesederhanaan proses penyelesaian sengketa berdasarkan
potensi lokal ini berhubungan dengan tingkat pengetahuan warga desa pada
umumnya
sehingga bentuk dan cara menjalankan proses tersebut tampak
sederhana pula.
Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal pada
peradilan desa/adat tersebut pada asasnya menjalankan fungsi pendidikan hukum
yang didasarkan kepada suatu prinsip bahwa hukum diciptakan
untuk tidak dilanggar,
tetapi untuk dihormati dan ditaati agar tercapai perdamaian.
Pada saat itu, orang yang melanggar hukum dipandang sebagai
melanggar ketertiban umum.
Peradilan desa/adat sebagai disciplinaire rechtspraak (
peradilan ketertiban) yang diselenggarakan bukan untuk membalas dendam atau
membalas kesalahan, melainkan untuk membangun perdamaian.
Dalam perkembangan nya, kebijakan kebijakan pemerintah
kolonial mulai mempengaruhi kebijakan kebijakan masyarakat/ pimpinan lokal
sebagai fungsionaris lokal.
Akibat berdampak peradilan adat/ desa mulai mengalami
perubahan, ini tampak pada tahun 1925-1927 diadakan politik hukum untuk
meninjau kedudukan pengadilan ketertiban adat/desa.
Sebenarnya apa yang dilakukan pengadilan adat/desa pada saat
itu adalah hukum dimaknai sebagai alat pendidikan dan kewenangan tetap ada di
tangan masyarakat itu sendiri.
Di setiap masyarakat adat yang ada di Nusantara pada
dasarnya memiliki tema tema budaya yang pada dasarnya antara satu sama lain
sama yaitu menjunjung tinggi budaya musyawarah.
Misalnya di Aceh. Di sana ada pengadilan yang sifatnya hanya
sebagai dewan pemisah, kekuasaan itu diberikan kepada kepala kaum.
Jika ada pihak yang berselisih, maka akan dilakukan
perdamaian.
Di tanah Gayo, pengadilan adat dipegang oleh raja raja.
Di tanah Batak kekuasaan ini ada di tangan raja pedusunan.
Di Tapanuli Selatan, kekuasaan itu diberikan kepada kepala
kuria dan bergeser kepada kepala distrik.
Di masyarakat Minangkabau, misalnya, di sana ada lembaga
kerapatan adat nagari.
Di Sumatera Selatan lembaga adat di pegang oleh kepala marga
yang disebut Pesirah beserta perangkatnya berdasarkan Dewan marga.
Sejak tahun 1983 fungsi Pesirah tersebut baik secara kepala
pemerintahan dan kepala adat dihapus oleh surat keputusan gubernur Sumatera
Selatan nomor 143/KPTS/III/ 1983.
Sebagai tindak lanjut undang undang nomor 5 tahun 1974 Jo
undang undang nomor 5 tahun 1979.
Sebagai dasar untuk mengadili jika terjadi pelanggaran hukum
adalah kompilasi Simbur Cahaya.
Pola perdamaian adat di masyarakat lokal dapat kita baca di
dalam pepatah maupun kata kata bijak misalnya
Di Minangkabau menyebutkan: bulek aia dek pambuluah, bulek
kato dek musyawarah.
Masyarakat Jawa: glurug tanpa bolo, menang tanpa ngasurake.
Pada masyarakat Jawa umumnya, ada kebiasaan dalam membuat
keputusan yang dilakukan dalam rapat desa atau dulu disebut sebagai dewan
perapat.
Di dalam dewan perapat beranggotakan dari perwakilan dari
dukuh dukuh.
Mereka berembuk untuk menyelesaikan perkara perkara yang
terjadi pada komunitas mereka.
Dalam Prapat ini memutuskan bukan berdasarkan suara
mayoritas, melainkan keseluruhan usulan usulan yang muncul dalam setiap rapat
ditampung dan diputuskan secara musyawarah (Koentjaraningrat, dalam Ade Saptono,
2010)
Di berbagai daerah masih ada lembaga perdamaian yang
memiliki kewenangan berbagai bidang.
Dalam kegiatan nya, di lembaga ini ada kepala adat/desa atau
suku ikut bersama anggotanya serta aktif memelihara, menjaga, menjalankan hukum
adat berdasarkan masyarakat setempat yang mereka pimpinan informasinya.
Dalam menjalankan tugas ia tidak menjadikan kewenangannya
sendirian, tetapi fungsional, seperti satuan dewan anggota yang bekerja secara
fungsional sehingga pola nya berjalan secara musyawarah.
Semua itu dilakukan untuk mencapai keadilan.
Kondisi masyarakat lokal ini yang menyelesaikan bila terjadi
pelanggaran hukum dengan cara musyawarah untuk mencapai keadilan dilakukan
dengan pola perdamaian.
Aura ini, seperti nya diangkat dan dimuat di dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana 2023.
Yang akan efektif berlaku tahun 2026.
Di mana ketentuan pasal pasal nya mengakui keberadaan hukum
yang hidup dalam masyarakat, guna dijadikan hukum tambahan yaitu hukuman
berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Tentu dalam realitasnya mendatang perhatian dalam bentuk
teori pengajaran di bangku pendidikan formal dan unsur informal perlu di galakkan
Terutama pendidikan tinggi yang mempunyai program studi ilmu
hukum, melalui tri dharma perguruan tinggi dilakukan studi mendalam untuk
menggali potensi lokal berupa adat istiadat yang masih berlaku.
Guna membantu pihak pihak yang terlibat untuk membentuk
Peraturan Daerah khusus mengenai pelanggaran adat itu.
Sebab Undang Undang Nomor 1 tahun 23 tentang Kitab Undang
Hukum Pidana memuat hukum yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk sudah
dituliskan menjadi hukum tertulis berupa Peraturan Daerah tadi.***
*) Penulis merupakan Ketua Pembina Adat Sumsel