Diskriminatif dalam Berpolitik
![]() |
Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan |
Opini Oleh: Albar Sentosa Subari*)
JENDELAKITA.MY.ID - Salah satu tujuan Reformasi saat
itu , tidak lain ingin melepaskan diri dari kondisi yang tidak mencerminkan
rasa keadilan baik di sisi hukum, sosial budaya dan politik.
Ciri khusus reformasi salah satu nya adalah dilakukan
amendemen UUD tahun 1945; tentu membawa konsekuensi akibat amendemen UUD tahun
1945, salah satu diubah nya tugas dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat
serta berubahnya sistem pemilu dari sistem tidak langsung menjadi langsung.
Walaupun sebenarnya sila Pancasila menghendaki sistem perwakilan
untuk memusyawarahkan jalanan nya roda pemerintahan.
Bulan Oktober adalah bulan yang dikenal sebagai bulan Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, yang intinya
untuk mengikat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai
Merauke tanpa perbedaan perbedaan satu sama lain di dalam hukum dan politik.
Pertengahan bulan Oktober 23 kita disajikan adanya Keputusan
Majlis Hakim tentang batas usia minimum untuk menjadi capres dan cawapres,
yaitu usia minimal sebelumnya adalah 40 tahun (tanpa embel-embel).
Namun setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (90 tahun
23), ketentuan batas minimum untuk menjadi capres dan cawapres ditambah klausul
kecuali yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah (propinsi atau
kabupaten/kota).
Terlepas dari kontroversial putusan tersebut, walaupun
secara hukum normatif sudah final dan mengikat, namun secara empiris
menimbulkan rasa tidak nyaman mengusik rasa keadilan masyarakat / warga Indonesia.
Kontroversial tersebut baik datang nya dari luar maupun
dalam kalangan majelis hakim sendiri di dalam proses dan pertimbangan hukumnya
yang dirasakan oleh majelis.
Ambil saja dari dua hakim majelis Mahkamah Konstitusi saat
membacakan pendapat nya yang dirasakan ada muatan politisnya.
Adanya konflik kepentingan yang seharusnya sebagai lembaga
yudikatif yang mengawal jalan negara dan pemerintahan sesuai dengan konstitusi.
Ternyata dengan mudah dapat melakukan hal hal yang
Menciderai rasa Keadilan.
Dengan penambahan klausul dalam batas minimal usia seseorang
boleh mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres yaitu apabila pernah dan
sedang menjabat sebagai kepala daerah, tentu akan menutup (membuat
diskriminasi) bagi warga negara yang berusia di bawah 40 tapi mempunyai
kualitas yang cemerlang baik ditingkat internasional atau nasional akan
tertutup baginya karena yang bersangkutan belum pernah menjabat sebagai kepala
daerah sebagai mana klausul tambahan tersebut.
Apakah ini bukan suatu diskriminatif di bidang hukum dan
politik.
Bukan rahasia lagi bahwa seseorang tidak mudah untuk menjadi
kepala daerah, apabila usia di bawah 40 tahun ; banyak yang harus dikorbankan
baik dana yang cukup besar (tidak sembarang orang memiliki nya), kecuali kecuali ada faktor faktor politik,
budaya dan sosial maka akan gampang yang dapat meluncur sebagai kepala daerah.
Belum lagi dari sisi harmonika hukum adanya kontradiksi satu
ketentuan / atau putusan akibat adanya faktor politik dan kekuasaan, sehingga
mengorbankan sisi lain.
Sebagai ilustrasi kita,
ada beberapa anekdot yang berkembang di media sosial yang di buat
sebagai permisalan:
Untuk mendapatkan surat izin mengemudi adalah warga negara
berusia minimal 17 tahun, kecuali bagi
mereka yang sudah pandai mengemudikan kendaraan.
Tentu bagi orang yang beruntung adalah mereka yang orang
tuanya dapat membelikan sebuah motor atau mobil sehingga dia bisa mengendarai (catatan
tentu ini melanggar hukum lalu lintas).
Sedang yang tidak bernasib seperti orang di atas harus
menunggu batas usia minimal untuk mendapatkan SIM.
Seperti kita ketahui untuk mendapatkan surat izin mengemudi
tersebut bukanlah mudah harus melalui ujian tertulis dan ujian praktek (sesuai
aturan kalau mau sesuai aturan).
Apakah ini bukan diskriminatif????.***
*) Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan