Breaking News

Tom Lembong dari Sisi yang Berbeda



Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U. (Pengamat Hukum) 

Jendelakita.my.id. - Seperti sudah kita maklumi bersama, kasus impor gula sempat menyeret Menteri Perdagangan pada era pemerintahan Presiden Jokowi menjadi narapidana setelah divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri. Namun, oleh Presiden Prabowo Subianto, Tom Lembong kemudian mendapat abolisi dari Presiden Republik Indonesia. Sebagaimana telah kita ketahui, abolisi merupakan salah satu hak prerogatif Presiden Republik Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Abolisi merupakan suatu pemberhentian proses hukum yang sedang berjalan, sehingga yang bersangkutan dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan setelah menerima keputusan presiden yang sebelumnya telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Dilansir oleh televisi swasta (I News – iNews Room) tanggal 4 Agustus 2025, diberitakan bahwa Tom Lembong, melalui kuasa hukumnya, mengadukan majelis hakim yang menangani perkara tersebut dan telah menjatuhkan vonis kepada Mahkamah Agung. Bersamaan dengan berita tersebut, di waktu yang sama I News TV juga memuat pernyataan dari mantan Presiden Republik Indonesia, Jokowi, bahwa dia, Jokowi, memang memberi perintah kepada Tom Lembong yang waktu itu sebagai Menteri Perdagangan. Sayangnya, saat persidangan berlangsung, Jokowi tidak dapat dihadirkan sebagai saksi. Padahal, di hadapan majelis hakim, Tom Lembong telah menyampaikan bahwa dia mendapat perintah dari atasan.

Dari dua peristiwa hukum di atas, sebagaimana telah diberitakan oleh media—yakni laporan kuasa hukum Tom Lembong kepada Mahkamah Agung dan pernyataan Jokowi bahwa dia sebagai presiden saat itu memerintahkan Tom Lembong untuk impor gula—dapat dilakukan kajian teoritis yang memperlihatkan adanya sisi yang berbeda untuk dianalisis. Dalam ilmu hukum pidana, dikenal adanya ketentuan-ketentuan yang dapat membebaskan seseorang dari hukuman meskipun ia telah melakukan tindak pidana. Salah satu alasan tersebut adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar "perintah atasan", sebagaimana dalam kasus Tom Lembong. Namun, faktanya, yang bersangkutan tetap dinyatakan bersalah dan divonis.

Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah ini yang menjadi dasar tim kuasa hukum Tom Lembong melaporkannya ke Mahkamah Agung? Apakah mungkin hakim tidak menghadirkan Jokowi sebagai saksi kunci dalam kasus tersebut? Padahal, Jokowi sendiri, melalui pemberitaan I News TV tanggal 4 Agustus 2025, telah mengakui hal tersebut. Apakah pernyataan itu hanya kebetulan atau justru sengaja baru disampaikan setelah Tom Lembong memperoleh abolisi dari Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto?

Di samping itu, dalam ilmu hukum acara juga dikenal asas bahwa segala sesuatu yang telah diputuskan hakim adalah hukum. Terlepas dari apakah isi putusan itu dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan, masih tersedia upaya hukum, baik biasa maupun luar biasa. Namun, pengecualian dapat terjadi jika terbukti adanya pelanggaran etika maupun pelanggaran profesi, yang menjadi wewenang Komisi Yudisial untuk menindaklanjutinya.

Sebagaimana dikatakan Van Apeldorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan), yang menjadi buku utama dalam mempelajari ilmu hukum di tingkat awal pada tahun 1970-an, hukum itu seni. Karena hukum adalah seni, maka setiap orang memandangnya sesuai dengan tingkat dan pemahaman seni masing-masing. Terlebih di era sekarang, hukum banyak dikelilingi oleh unsur-unsur non-hukum, seperti kekuasaan dan politik. Dalam konteks ini, terjadi saling pengaruh antara satu dengan lainnya—baik sebagai variabel dependen maupun independen. Hakim sebagai pemegang palu pengadilan akan memainkan seni tersebut melalui interpretasi (penafsiran) ataupun argumentasi, menggunakan sistem logika silogisme. Maka, hasil akhirnya (vonis) sangat bergantung pada profesionalisme dan proporsionalitas para hakim.