Jabatan sebagai Amanah dan Jejak Kebaikan
![]() |
| Image by Bruno from Pixabay |
Jendelakita.my.id. - Dalam kehidupan sosial dan profesional saat ini, fenomena ketakutan terhadap kehilangan jabatan semakin sering terlihat di berbagai lingkungan kerja maupun organisasi. Banyak orang merasa bahwa jabatan adalah simbol harga diri, sumber kekuatan, dan penentu status sosial. Ketika seseorang berada di posisi tertentu, ia sering kali mendapat penghormatan, perhatian, dan akses yang tidak didapatkan sebelumnya. Situasi seperti ini membuat sebagian individu begitu terikat dan enggan melepaskan jabatan, seolah-olah posisinya menjadi penentu nilai keberadaannya di tengah masyarakat. Ikatan emosional terhadap jabatan tersebut tidak jarang melahirkan rasa cemas berlebihan ketika masa tugasnya hampir berakhir, atau ketika ada kemungkinan digantikan oleh orang lain. Ketakutan semacam ini menunjukkan bahwa sebagian orang memandang jabatan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dengan segala cara, walau hal tersebut menimbulkan tekanan psikologis yang tidak ringan.
Sebagian individu bahkan mengalami kondisi psikologis yang dikenal sebagai post power syndrome, yaitu keadaan ketika seseorang sulit menerima kenyataan bahwa ia tidak lagi berada pada posisi berpengaruh. Mereka merasa kehilangan arah, kehilangan wibawa, dan kehilangan identitas setelah tidak lagi memegang jabatan tertentu. Kondisi ini sering kali muncul karena selama menjabat, seseorang terlalu mengaitkan eksistensi dirinya dengan kekuasaan yang ia miliki. Ketika kekuasaan itu hilang, ia merasa kosong, rapuh, dan tidak berarti. Padahal, secara hakikat, jabatan tidak pernah dirancang untuk membuat seseorang merasa lebih superior daripada orang lain. Jabatan hanyalah amanah yang sifatnya sementara, bergilir, dan harus dipertanggungjawabkan. Ketika seseorang memegang jabatan, ia bukan hanya dihormati, tetapi juga dituntut untuk menjalankan kewajiban moral, sosial, dan spiritual. Tanggung jawab inilah yang seharusnya lebih disadari daripada sekadar mengejar prestise atau pengaruh.
Dalam perspektif nilai moral dan keagamaan, jabatan hanyalah sebagian kecil dari cara seseorang mengukir sejarah hidupnya. Jabatan bukan tujuan akhir dalam hidup, melainkan sarana untuk melakukan kebaikan yang lebih luas. Melalui jabatan, seseorang memiliki peluang lebih besar untuk membantu, memperbaiki, dan memberikan manfaat bagi orang lain. Namun, kesempatan ini tidak selalu digunakan sebagaimana mestinya. Ketika jabatan dipandang semata sebagai alat untuk memperkuat diri atau kepentingan pribadi, maka fungsi amanahnya semakin terabaikan. Hidup ini pada akhirnya akan membawa setiap manusia menuju satu kepastian yang sama, yaitu kematian. Ketika seseorang meninggal, ia tidak akan dikenang karena jabatannya semata, melainkan karena kebaikan yang ia tinggalkan. Seorang tokoh atau pemimpin tidak akan diingat karena lamanya ia menjabat, tetapi karena dampak positif, keteladanan, dan amal jariyah yang terus mengalir dari amal perbuatan yang pernah ia lakukan. Sejarah selalu mencatat orang-orang yang mampu memanfaatkan posisinya untuk kepentingan banyak orang, bukan bagi mereka yang hanya mempertahankan kekuasaannya tanpa memberikan manfaat yang berarti.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu yang memegang jabatan untuk kembali menyadari bahwa posisi tersebut hanyalah titipan. Amanah itu harus dijalankan dengan penuh integritas, keikhlasan, dan rasa tanggung jawab. Jabatan seharusnya membuat seseorang lebih bijak, lebih rendah hati, dan lebih bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan cara ini, seseorang dapat meninggalkan jejak baik ketika ia sudah tidak lagi hidup di dunia, berupa kebaikan, keteladanan, dan amal jariyah yang terus memberikan manfaat bagi orang lain. Inilah warisan yang jauh lebih berharga daripada sekadar gelar atau posisi yang bersifat sementara.

