Sosok Guru Ketika Bukan Seorang Pendidik
Penulis: H. Albar Sentosa Subari, S.H., S.U.
Jendelakita.my.id. - Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai sosok atau tokoh pendidikan Indonesia yang hari kelahirannya selalu diperingati oleh komunitas yang berprofesi sebagai pendidik, baik di pendidikan formal maupun informal. Karyanya yang berjudul Pendidikan merupakan bagian pertama dari gagasannya, di samping karya bagian kedua yang mengulas tentang Kebudayaan. Sebagai seorang kolumnis, penulis mencoba menganalisis hubungan antara faktor pendidikan dan kebudayaan, yang menjadi landasan keberhasilan Ki Hadjar Dewantara dalam mendirikan perguruan yang hingga kini dikenal dengan nama Taman Siswa.
Prof. Iman Sudiyat, S.H., Guru Besar Ilmu Hukum Adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sekaligus mantan Rektor Universitas Taman Siswa Yogyakarta, pernah berkata kepada saya (dipanggil Mas, panggilan kehormatan dalam bahasa Jawa), bahwa Ki Hadjar Dewantara dalam penyusunan naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia di dalam sidang BPUPKI dan PPKI adalah sosok yang berhasil memasukkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ke dalam pasal-pasalnya. Hal itu terlihat antara lain pada bab yang sama antara pendidikan dan kebudayaan, yaitu Bab XIII Pasal 31 mengenai pendidikan dan Pasal 32 mengenai kebudayaan. Salah satu fatwa beliau menyatakan bahwa hubungan (budaya) seorang guru atau pendidik dengan muridnya memiliki slogan “Jauh tapi dekat, dekat tapi jauh.”
Dalam sistem proses pembelajaran, seseorang yang berprofesi sebagai guru berperan ganda, yakni sebagai pendidik sekaligus pengajar. Sebagai pendidik, guru berperan menjadi panutan bagi para siswa di lingkungan pendidikannya. Tentu, sebagai panutan, ia harus memiliki moral dan etika yang baik dalam berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat, khususnya para muridnya, agar tetap patuh pada nilai-nilai hukum agama, aturan negara, serta adat istiadat setempat. Sementara itu, sebagai pengajar, tugas guru adalah mentransfer ilmu pengetahuan agar siswa menjadi orang yang pintar, dengan menekankan pada pengasahan intelegensi. Keduanya sangat penting untuk membentuk generasi muda yang cerdas sekaligus bermoral.
Baru-baru ini beredar sebuah video yang sempat viral dan menginspirasi penulis untuk menganalisisnya. Dalam video tersebut, tampak seorang guru laki-laki berjalan menuju suatu tempat dengan tulisan di bagian belakang bajunya bertuliskan dua kalimat: “Pendidik” dan “Pengajar.” Kedua tulisan itu menempel di punggung guru tersebut. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki datang dan merobek salah satu tulisan, yakni yang bertuliskan “pendidik.” Guru itu tetap berjalan. Di tengah jalan, ia bertemu dua siswa yang hendak membolos sekolah, tetapi guru tersebut diam saja. Ia terus berjalan dan bertemu lagi dengan anak yang sedang merokok, namun sang guru juga membiarkan. Terakhir, ada dua murid yang menegurnya. Mereka bertanya, “Kenapa Bapak tidak menghalangi dan menegur murid-murid itu?” Guru tersebut menjawab, “Saya bukan pendidik, tapi hanya pengajar.” Mendengar jawaban itu, murid-murid pun heran dan bingung.
Kita tentu sudah mengetahui makna dari rentetan video viral tersebut: sosok guru sering kali disalahkan. Baru-baru ini juga terjadi peristiwa yang menggegerkan tanah air, yakni aksi solidaritas siswa-siswi SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang melakukan mogok tidak mau masuk sekolah sebelum kepala sekolah mereka dilengserkan. Aksi itu terjadi karena kepala sekolah menegur salah satu siswa yang merokok di lingkungan sekolah. Dulu, peristiwa serupa juga sempat heboh di salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Kedua-duanya akhirnya berakhir dengan damai.