Polemik Gaji dan Kesehatan, Berikut adalah Reaksi Pengamat Sosial Budaya Sumatera Selatan terhadap Pernyataan Menteri
Jendelakita.my.id. - Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan beredarnya sebuah video wawancara yang menampilkan Menteri Kesehatan sedang berdiskusi dengan sekelompok mahasiswa berjaket kuning. Dalam cuplikan tersebut, sang menteri menyampaikan sebuah pernyataan yang cukup kontroversial, yakni bahwa apabila seseorang hanya memiliki gaji sebesar lima juta rupiah per bulan, maka hal itu mencerminkan bahwa negara belum tergolong sebagai negara maju dan masyarakatnya dikategorikan kurang sehat. Pernyataan ini kemudian menuai berbagai tanggapan dari masyarakat, terutama karena dinilai tidak tepat disampaikan oleh Menteri Kesehatan. Dalam konteks pemerintahan, pernyataan semacam ini seharusnya lebih layak diutarakan oleh Presiden atau setidaknya oleh Menteri Keuangan yang memang memiliki tupoksi langsung dalam hal kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangan negara.
Secara umum, diketahui bahwa gaji lima juta rupiah merupakan angka yang masih menjadi standar bagi banyak pekerja di Indonesia, terutama bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan aturan yang berlaku, nominal tersebut masih tergolong umum dan tidak semua orang memiliki penghasilan tambahan di luar gaji pokok. Maka dari itu, mengaitkan tingkat kesehatan masyarakat secara langsung dengan jumlah gaji yang diperoleh menjadi sebuah generalisasi yang kurang tepat. Dalam kenyataannya, banyak orang yang memiliki penghasilan di bawah lima juta rupiah tetap dalam kondisi sehat, bahkan bugar secara fisik maupun mental. Sebaliknya, tidak sedikit pula individu dengan penghasilan jauh lebih tinggi—sebut saja lima belas juta rupiah per bulan—justru menderita berbagai penyakit akibat pola hidup yang tidak sehat.
Hal ini menunjukkan bahwa dua variabel, yakni "gaji" dan "sehat", tidak selalu memiliki korelasi yang signifikan dan linier. Sehat atau tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh pola hidup, asupan makanan, kebiasaan olahraga, serta faktor lingkungan dan genetik, bukan semata-mata oleh besarnya penghasilan. Misalnya, banyak masyarakat di pedesaan yang hidup dari hasil bertani dan tidak memiliki gaji tetap, namun mampu hidup sehat dan berumur panjang karena gaya hidup yang lebih alami dan tidak penuh tekanan seperti di perkotaan.
Menanggapi hal tersebut, H. Albar Sentosa Subari, seorang pengamat sosial budaya sekaligus Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan, menyatakan bahwa pernyataan menteri tersebut tidak dapat digeneralisasi. "Sebagai pengamat sosial budaya saya melihat persoalan ini tidak dapat diglobalisasi atau digeneralisasi. Karena itu persoalan kasus per kasus," ujar beliau saat dimintai tanggapan oleh wartawan pada Rabu, 21 Mei 2025. Menurutnya, jika pernyataan tersebut keluar dari Presiden atau Menteri Keuangan dalam konteks pengambilan kebijakan publik, mungkin akan lebih relevan. Namun, apabila keluar dari Menteri Kesehatan, terlebih dalam forum terbuka bersama mahasiswa, hal itu dapat menimbulkan kesalahpahaman serta memunculkan kegaduhan publik yang seharusnya bisa dihindari. Pernyataan semacam itu, idealnya disampaikan dalam forum internal pemerintahan seperti sidang kabinet agar dapat dikaji secara mendalam dan menyeluruh.