Sumber Pelanggaran Sistemik dan Struktural Terhadap Masyarakat Hukum Adat
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Seluruh kajian dan penelitian yang dilaksanakan Komnas HAM selama tiga tahun terakhir ini menyimpulkan bahwa pelanggaran sistemik dan struktural dari masyarakat hukum adat serta hak tradisional nya berawal dari dicantumkan nya conditionaluties Terhadap pengakuan masyarakat hukum adat serta hak tradisional nya (Lihat Saafroedin Bahar).
Semua itu bermula dari undang undang nomor 5 tahun 1960, tentang pokok pokok agraria dan mencapai format puncaknya pada undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
Dari kesemuanya itu dapat diduga bahwa seluruh dari latar belakang pencantuman conditionaluties; bersumber dari;
Sumber Pelanggaran pertama adalah doktrin dan anti demokrasi, yaitu Domein Verklaring, yang mengatakan bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan sesuatu haknya atasnya, adalah milik negara. Dengan dalil tu, maka tanah tanah yang luas milik masyarakat hukum adat - yang sudah tentu sama sekali tidak memiliki sertifikat - telah jatuh ke tangan negara, dan telah dibagi bagi kepada berbagai pihak, baik berupa hak eigendom yang bersifat mutlak atau hak erfpacht yang mempunyai jangka waktu.
Sumber Pelanggaran kedua, walaupun bersumber dari semangat" kebangsaan", namun mempunyai efei yang sama dengan doktrin Domein Verklaring, yaitu asumsi yang dianut oleh jajaran Pertanahan Nasional (BPN), bahwa dengan berdirinya Republik Indonesia, maka seluruh hak Ulayat masyarakat hukum adat dengan sendirinya beralih kepada negara dan menjadi apa yang disebut "hak Ulayat Negara". Oleh karena itu, walaupun secara in concreto doktin ini merupakan pencabulan hak (onteigening), namun dalam banyak hal pemerintah bukan saja tidak berusaha memperoleh persetujuan masyarakat hukum adat sesuai dengan asas free and informed voncent, tetapi juga sering kali tidak memberikan ganti rugi yang layak terhadap masyarakat hukum adat yang secara konstitusional harus dilindungi. Dengan kata lain, sesungguhnya konsep hak Ulayat Negara yg dianut oleh Badan Pertanahan Nasional tersebut merupakan pengingkaran terhadap tugas konstitusional pemerintah untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 45.
Sumber ketiga bersifat cultural khususnya kultur politik etnik, yaitu konsep budaya politik Jawa tentang kekuasaan yang sangat sentralistik dan tidak dapat dibagi.
Soemarsaid Hartono yang dikutip oleh Saafroedin Bahar: budaya politik Jawa sangat terobsesi kepada suatu kekuasaan yang mutlak dan terpusat, dan sama sekali tidak memberikan peranan yang memadai kepada rakyat pada umumnya.
Baik sejarah nasional Indonesia sejak tahun 1945, maupun sejarah upaya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia secara khusus, mencatat demikian banyak kasus pelanggaran hak masyarakat hukum adat oleh Negeri, yang langsung atau tidak langsung bersumber dari tiga jenis sumber pelanggaran tersebut.
Sumber Pelanggaran Sistemik dan Struktural yang terjadi selama ini, diharapkan dapat selesai jika Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang konsepnya sudah dirancang sejak tahun 2006 saat peringatan hari ulang tahun masyarakat hukum adat se dunia 9 Agustus 2006, di mana saat itu presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan agar segera disusun rancangan UU tentang perlindungan masyarakat hukum adat, sayang sampai detik ini idee nya Susilo Bambang Yudhoyono presiden pada masa belum terwujud. Padahal masyarakat hukum adat di seluruh Nusantara menanti dengan harapan cemas.Sedangkan pelanggaran secara sistematis dan struktural sering saja terjadi. Ingat kasus Rempang.***
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan