Penghayatan "Bhinneka Tunggal Ika"
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Sebagai misi nasional Bhinneka Tunggal Ika, tidak boleh dihayati secara primordial, dalam arti, di satu pihak karena kita merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kultur dan sub kultur, namun di lain pihak kita secara tidak sadar juga sering Gandrung kepada keseragaman dan proses uni formasisi. Padahal, sebagai misi nasional Bhinneka Tunggal Ika hanya akan mempunyai makna bagi masa depan, bila ditunjang oleh pengakuan yang jujur akan kemajemukan etnis, religi, kultural dan geografis serta kemajemukan politis, sosial dan ekonomi. Artinya, dalam negara yang didirikan berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pengakuan akan konstelasi yang histeris dan nyata, kita hendak sungguh sungguh menekan segala bentuk penindasan sampai ke tingkat yang minimal. Bila usaha yang jujur dan sungguh sungguh itu tidak ada, maka semua yang dinyatakan atas nama Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya cuma basa basi belaka. Sementara itu perlu diingat, bahwa betapapun luhurnya Bhinneka Tunggal Ika sebagai formula, manusia sendiri adalah tetap lebih mulia dari padanya. Itulah sebabnya, mengapa formula Bhinneka Tunggal Ika harus mengabdi kepada cita cita manusia Indonesia yang tidak boleh merupakan cita-cita yang tidak luhur. Karena itu implisit dan Bhinneka Tunggal Ika adalah tantangan bagi kita untuk menegakkan kehidupan bersama yang anti penindasan dan anti diskriminasi terhadap semua perbedaan dan kebendaan.
Bhinneka tunggal Ika itu membutuhkan baik perbedaan dan kebedaan di satu pihak tetapi juga persatuan dan kesatuan di pihak lain. Tanpa semua itu juga tidak perlu ada Bhinneka Tunggal Ika. Namun dalam konteks yang realistis, persoalan nya bagaimana kita mampu menegakkan kebersamaan yang konstruktif ketimbang memaksakan kesatuan yang tidak realistis. Bhinneka tunggal Ika mensyaratkan keberagaman yang bersatu dan dipersatukan (united and unified diversities), tetapi tidak mungkin memberi tempat kepada keragaman yang diseragamkan (uniformed diversities). Masalah nya adalah, pemenuhan syarat itu mempersyaratkan kemauan politik untuk memahami implikasi dari Bhinneka Tunggal Ika itu dalam konteks kebudayaan yang menjadi semakin canggih dalam proses sosial yang semakin kompleks. Dan kemajuan politik itu hanya bisa dibangun melalui dinamika kesepakatan di antara para elite masyarakat. Kemajemukan dalam masyarakat, apabila yang semakin melebar sebagai akibat dari industrialisasi dan informatisasi akan semakin melonggarkan ikatan ikatan kekeluargaan, ruang hidup, asal usul sosial dan tradisi, untuk pada gilirannya kemudian menggulirkan perubahan struktur dalam kebutuhan masyarakat.
Meskipun demikian, kita tidak mempunyai pilihan lain. Dengan proklamasi yang mendirikan Republik Indonesia kita sudah kepalang menyatakan diri sebagai suatu bangsa. Dan bukan itu saja, malahan sebagai bangsa yang besar. Jadi tantangan bagi "masyarakat Indonesia", adalah untuk membuktikan, bahwa kita sungguh sungguh merupakan bangsa yang besar. Kegagalan untuk membuktikannya hanya akan membuat mimpi buruk disintegrasi menjadi kenyataan yang akan teramat sukar untuk dipikul, apalagi di atasi.
Untuk itu kita harus taat kepada tujuan mendirikan Bangsa dan Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur serta makmur dalam berkeadilan.
Salah satunya kita harus tetap menjadi kan dasar negara, dan juga pandangan hidup berbangsa dan bernegara adalah jiwa Demokrasi Pancasila sebagai mana di ucapkan oleh Ir. Soekarno pada kesempatan pidato tanggal 1 Juni 1945 , yang intinya dari asas persatuan dan kesatuan adalah GOTONG ROYONG.
Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 45 dan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang sebentar lagi akan kita peringati, sebagai konsensus nasional para pemuda untuk mendirikan negara yang memiliki satu tanah air tanah air Indonesia, satu bangsa, bangsa Indonesia dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Yang diikat pula oleh hukum adat dan kepanduan.
Hukum adat dan kepanduan merupakan jiwa persatuan dan kesatuan yang berasas Gotong Royong.***
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan.