Breaking News

Nasionalisme dan Masa Depan Indonesia


 Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)

Jendelakita.my.id - Kehidupan nasionalisme yang terkesan kian runyam ini sesungguhnya tidak cuma terjadi sebagai akibat terlupakan ikrar untuk berbangsa satu.

Secara teoritik dapatlah dihipnotiskan bahwa semua itu terjadi sebagai akibat kegagalan mentransformasikan realitas nasionalisme sebagai ideologi subjektif di alam imajinasi para elit yang berposisi sentral di struktur pemerintahan ke ranah nya yang lebih riil dan objektif sebagai mana wujudnya sebagai perilaku kultur warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan ini hanya akan menghidupkan kembali berbagai nasionalisme lokal - yang terkenal dengan istilah etno-nasionalisme - di berbagai daerah negeri ini. Etno-nasionalisme adalah nasionalisme yang lebih riil dan kongkrit, amat nyata kalau lebih mengedepankan kembali konsep nasionalisme klasik yang mendefinisikan bangsa sebagai satuan manusia yang menurut mitosnya sedarah keturunan dan yang ranah empirik nya lebih tersimak dalam wujud hadirnya kesamaan tradisi dan bahasa yang berlaku eksklusif.

Etno-nasionalisme nasionalisme seperti ini manakala terhidupkan dan menguat kembali di dalam kehidupan kebangsaan di negeri negeri bekas daerah jajahan+ yang (karena tak bisa mengelak dari imperatif sejarah) harus bangun dari kehidupan bersuku suku yang majemuk - hanya akan melahirkan fragmentasi dan separasi saja dalam kehidupan kebangsaan. Tidak hanya Srilangka atau Irak atau Ghana yang mengalami pelik yang dilahirkan oleh menguatnya kembali etno-nasionalisme nasionalisme ini. Indonesia pun mengalami nya. Di Indonesia, debat mengenai pilihan untuk membangun kehidupan berbangsa atas dasar paham nasionalisme baru yang mengatasi eksistensi suku suku tua ataukah atas dasar paham etno-nasionalisme nasionalisme sebenarnya telah pernah berlangsung pada tahun 1918. Ini debat yang terkenal Tjipto Mangoenkoesoemo dari Indische Partij dengan Soetatmo Soerjoekoesoemo dari Comitee voor het Javasnsche Nasionalisme yang berlangsung di kongres pengembangan kebudayaan Jawa di Solo, namun yang telah terlupakan dalam kajian sejarah politik dan sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Manakala Tjipto Mangunkusumo merupakan representatif nasionalis yang merindukan terwujudnya Republik Hindia yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih tegak waktu itu. Soetatmo Soerjoekoesoemo adalah representatif nasionalis yang merindukan terwujudnya kerajaan Jawa yang dimodren sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Soetatmo, nasionalisme sebagaimana yang terkonstruksi di dalam benak Tjipto Mangunkusumo akan berkonsekuensi pada terwujudnya model ketatanegaraan yang pada hakekatnya adalah kelanjutan saja dari model asing yang Europeesch sebagaimana yang dibangun dan diperkenalkan oleh para penguasa kolonial. Tidakkah model klasik yang bertumpu pada kearifan tata nilai dan tradisi budaya setempat akan lebih mendekatkan bangsa bangsa di daerah jajahan ini untuk kembali ke kepribadiannya yang asli.

Dalam perkembangan yang lebih kemudian, konsesi dan kompromi sebenarnya telah tercapai. Sumpah pemuda 1928, misalnya, sekali pun mengikrarkan kesatuan tanah air, kebangsaan dan kesetiaan berbahasa sebenarnya masih membuka peluang untuk menenggang kemajemukan etnisitas. Pernyataan yang ikut disuarakan dalam acara Sumpah Pemuda pada tahun 1928 itupun menjanjikan bahwa hukum di masa depan akan berasas Hukum Adat yang sebenarnya berkarakter kedaerahan itu. Sila yang disepakati pada tahun 1945 sebagai sila ketiga - atau yang juga disebut sila kebangsaan - pun bukan sila yang berbunyi "Kesatuan Indonesia, melainkan Persatuan Indonesia.

Undang undang dasar 1945 yang menjanjikan otonomi daerah yang luas harus pula dicermati sebagai isyarat bahwa kebangsaan ketatanegaraan bangsa Indonesia tidaklah hendak didasarkan pada paradigma kesatuan yang mutlak melainkan yang persatuan antar daerah itulah.***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan