Masalah Pluralisme Budaya dan Bangkitnya Kembali Etno-nasionalisme
Tulisan Oleh: H. Albar Sentosa Subari*)
Jendelakita.my.id - Negeri negeri baru yang dibangun di atas puing puing kekuasaan kolonial, adalah negeri negeri yang tercipta hasil penciptaan suprastruktur kekuasaan asing yang berkultur homogen namun tidak memperhatikan homogenitas wilayah wilayah jelajahan yang dikuasainya.
Pembatasan pembatasan ditetapkan sepihak tanpa memperhatikan lingkar lingkar kewilayahan budaya (kultuurkreise) yang ada. Banyak migrasi yang melalui lalangkan sekian banyak suku asing juga berlangsung melintasi wilayah wilayah kultural suku suku asli untuk kemudian menetap di tempat tanpa terjadinya integrasi integrasi budaya yang signifikan. Semua yang terjadi semasa dan sepanjang masa kekuasaan kolonial ini telah banyak menimbulkan sekian banyak rumpun kultural bangsa bangsa tua, seperti misalnya rumpun Melayu atau rumpun Kurdi, yang terbelah belah oleh batasan batasan kawasan politik.
Bangkitnya kesadaran berbangsa yang berujung pada paham ideologis nasionalisme yang lewat perjuangan politiknya berhasil mendirikan negara baru, menuruti model negara teritorial yang berasal dari Barat, namun demikian terbukti mengalami kesulitan ketika harus mengintegrasikan kembali rumpun rumpun kewilayahan kultural untuk dapat setumpang tindih dengan kewilayahan politik yang berada dalam lingkup perbedaan teritorial negara yang baru ini. Tak ayal lagi, negara negara baru ek kolonial ini hampir tanpa kecuali nya mengalami persoalan keragaman kultural religius, kemajemukan siku atau etnis, yang apabila di luar kontrol berkembang ke arah terjadinya nasionalisme kedaerahan atau etno-nasionalisme nasionalisme maka kesatuan nasional dalam maknanya yang politik akan menjadi amal terganggu.
Etno-nasionalisme gampang mengilhami banyak eksponen untuk membangun kembali komunitas politiknya sendiri yang memisah dari komunitas politik besar yang bertumpu pada supranasionalisme antaretnik. Kesadaran etno-nasionalisme yang lebih bernuansa kultur dan heroik dari pada bernuansa politis serta ekonomis yang ahistorik itu akan kian membawa dan narak manakala dalam komunitas politik yang supranasionalistik itu terkesan dominannya peran kekuasaan yang teridentifikasi sebagai peran kekuasaan etnik tertentu, yang boleh dipasangkai telah terjadi apa yang disebut internal kolonialisme (yang tidak hanya terasa di bidang kehidupan kultural akan tetapi lebih lebih lagi di bidang sosial, politik dan ekonomi).
Contohnya kenyataan ini dapat lah disimak pada berbagai kehidupan bangsa bangsa baru di negeri negeri bekas daerah jajahan dan penjajahan bangsa bangsa Eropa Barat.
Pengalaman Indonesia dengan permasalahan di Papua misalnya, Srilangka di Asia Selatan dengan Tamilnya, Turki di Asia Barat permasalahan Kurdinya, adalah beberapa contoh saja.
Permasalahan serupa juga dialami Yugoslavia dan Rusia di Eropa Timur.
Di dalam kehidupan negara bangsa yang berbudaya majemuk, setiap langkah pengembangan kultur politik selalu saja menghadap nan orang kepada keterpaksaan untuk membuat pilihan pilihan atau pemihakan pemihakan yang acap kali sungguh rumit. Terjadilah beberapa permasalahan dilematis yang memusingkan. Pada awalnya, banyak eksponen nasionalis yang larut dalam kampanye anti kolonial mencoba mengabaikan fungsi budaya etnik sebagai kekuatan penopang kehidupan nasional. Sering malah ada kesan bahwa para nasionalis ini- dengan semangat modernisasi nya - mengkhawatirkan akan terjadi disrupsi disrupsi apabila kesetiaan kesetiaan tradisional pada segala sesuatu yang bersifat etnis itu terlalu ditenggang. Dikhawatirkan bahwa kesetiaan kepada tradisi lokal hanya akan mencuatkan sukuisme, yang pada gilirannya akan mengganggu solidaritas nasional dan kehidupan berbangsa. Perkembangan yang berkesan anti tradisi ini ternyata tidak hanya dapat disimak pada tahap tahap awal para nasionalis mulai tergugah kesadarannya untuk berbangsa dan bertanah air pada tingkatnya yang Supra dan tranetnik. Sampaipun pada tahah implementasi - ialah tatkala kehidupan nasional sudah hendak disempurnakan lewat usaha usaha pembangunan - perkembangan ideologik yang anti- tradisi ini tetap saja kuat tersimak.***
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan.